25 : Lumba-lumba

30 5 2
                                    

"Hai, mas!"

Binar mencengkram erat tasnya begitu gugup, dia berusaha tampil secantik mungkin dengan bantuan pelayan. Dia ingin menunjukkan sisi gadis manis yang baik! Binar menatap kagum bagaimana tampilan Sakya yang kelewat super tampan tanpa celah. Apalagi baju biru muda yang mirip dengan dirinya sekarang. Bukankah mereka tidak janjian untuk memakai baju yang seperti pasangan?

Apakah serangga yang memberitahu Sakya? Ataukah takdir?

"Kamu nggak masalah kan pergi nonton lumba-lumba? Teman saya nggak bisa pergi hari ini jadi daripada mubasir saya beli. Saya juga libur hari ini!"

"Ohh..."

Ternyata orang kaya juga tahu kata mubasir. Binar tersenyum senang, dia tidak peduli akan hal itu yang penting dia pergi dengan Sakya.

"Ayo Binar!" Sakya membuka pintu untuk Binar.

"Hmm, makasih Mas Sakya!" Binar menganggukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil Sakya dengan jantung begitu berdetak cepat.

Bahkan mobil Sakya penuh dengan aroma laki-laki itu yang menenangkan jiwa dan raga Binar.  Apakah Sakya menggunakan parfum mahal sampai-sampai aromanya begitu menguar dimana-mana?

"Mas Sakti kenapa masuk juga?" Binar melihat ke belakang dan menemukan Sakti yang baru saja masuk.

"Saya pengawal Non Binar!"

"Pergi!" Binar menatap tajam Sakti.

"Tapi non..."

"Mas Sakti! Kali ini tolong pengertiannya! Mas Sakti pakai mobil lain aja! Please!" Pinta Binar melihat Sakya yang belum masuk ke dalam mobil.

Sakti menghembuskan nafasnya lelah, bukankah dia harus menjaga Binar dimanapun dan kapanpun?

"Cepat pergi!"

"Baik!" Sakti keluar dengan wajah begitu lesu.

"Kenapa Sakti keluar?" Tanya Sakya masuk ke dalam mobil.

"Ohh... Dia mau bawa mobil baru! Uji coba!" Binar tersenyum penuh kemenangan.

Dia akan bersama Sakya berduaan di dalam mobil mahal ini! Binar akan mentraktir Sakti nanti setelah bisa diajak bekerja sama dengannya.

"Kita pergi sekarang!" Sakya tersenyum simpul.

"Iya mas!"

Semoga saja Sakti juga bisa jauh-jauh dari Binar dan Sakya. Apapun yang terjadi hari ini, Binar hanya ingin berdua dengan Sakya!

🐳🐳🐳

Binar menatap tangannya yang digenggam erat oleh Sakya. Dia menutup mulutnya menahan teriakan yang akan keluar karena perlakuan manis Sakya. Sakya benar-benar tidak ingin membiarkannya pergi atau menghilang karena antrian panjang ini.

"Maaf ya Binar! Kamu nggak apa-apa kan antri kayak gini?" Tanya Sakya.

"Apasih mas! Antri gini aja saya pernah kali! Apalagi antri sembako murah, antriannya lebih panjang plus lama lagi! Jadi gini aja saya nggak masalah! Emangnya Mas Sakya udah biasa kayak gini?" Tanya Binar sangat ingin tahu.

Bukankah biasanya orang kaya akan cepat masuk dan mendapatkan antrian terdepan? Kenapa Sakya harus ikut mengantri seperti masyarakat pada umumnya? Berdesak-desakan seperti ini dan menunggu cukup lama. Sakya memang berbeda dari orang kaya yang Binar tahu.

"Dari kecil papa saya ajarin saya buat selalu antri dimanapun tempatnya. Semua orang punya hak dan kewajiban yang sama. Sama kayak antri ini! Kita harus patuh sama peraturan. Nggak ada bedanya orang kaya sama orang miskin. Semuanya sama!" Sakya tersenyum dan mengeratkan genggamannya pada Binar.

"Iya sih! Si kaya dan si miskin, mereka sama-sama bayar buat lihat lumba-lumba itu. Nggak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Mas Sakya itu beda ya!"

"Beda?" Sakya melihat ke arah Binar.

"Iya! Sejak saya lihat Mas Sakya. Mas Sakya itu beda! Sikap Mas Sakya juga! Dari orang lain, Mas Sakya itu lebih rendah hati! Itu bagus mas! Pertahankan ya!" Binar tersenyum dan menepuk pundak Sakya bangga.

Dibandingkan dengan Radyta, sungguh Sakya lebih rendah hati! Apalagi dengan mengajaknya pergi seperti ini bukannya ke tempat-tempat mahal seperti kebanyakan orang. Binar jadi tahu tentang Sakya lebih dalam lagi. Laki-laki di sampingnya memang berbeda!

"Menurut kamu saya rendah hati?"

"Hmm... Iya! Jujur aja mas! Saya nggak suka lihat orang yang sombong. Mungkin bagi mereka apa yang mereka lakukan itu bukan kesombongan tapi sebuah pencapain. Tapi bagi saya yang biasa-biasa aja ini, justru itu kesombongan yang ditunjukkan. Niat mereka mungkin nggak mau sombong, cuma ada beberapa kesempatan hal itu nggak usah diomongin. Apa yang mereka punya jutsru buat saya iri! Saya nggak bisa lakuin itu. Emang sih bisa bikin motivasi. Tapikan nggak semua orang termotivasi sama pencapaian mereka. Malah jadi buat hati jadi iri dengki. Jadi nggak baik kan?"

Sakya memperhatikan Binar dan melihat orang-orang yang berjalan maju ke depan.

"Kamu pasti kesel waktu Radyta ajak kamu lihat rumah. Apalagi cerita Radyta waktu itu! Maaf ya Bin! Saya sebagai Keluarga Sadana minta maaf sama kamu!"

"Kenapa Mas Sakya minta maaf sih? Orang nggak salah juga! Mas Radyta juga nggak salah! Saya aja yang iri dengki sama kalian. Andai saya lahir di keluarga kayak Mas Sakya mungkin saya bisa rasain jadi anak orang kaya. Jangan terlalu dipikirkan mas! Saya emang suka berandai-andai nggak jelas! Biar nggak gila aja sama hidup!"

"Saya juga kok Bin! Saya juga suka berandai-andai!"

"Berandai-andai? Emang apa yang Mas Sakya mau? Kaya udah! Ganteng udah! Apalagi coba?"

"Pftttt... Nggak semua hal itu sama yang kamu pikirkan." Sakya menatap langit putih yang tidak nampak satupun warna biru di atas sana.

Polusi terlalu pekat menutupi warna biru di atas sana. Binar mendongak dan menatap Sakya yang wajahnya berubah begitu aneh. Memangnya apa yang diandaikan seorang seperti Sakya? Keluarga harmonis dan lengkap! Perusahaan yang terus maju! Kekayaan yang berlimpah bahkan wajah yang di atas rata-rata. Semuanya terlihat sempurna bagi Binar.

"Mas Sakya!"

"Hmm?"

"Saya juga pernah berandai-andai jadi  kucing!"

"Kucing?" Sakya melihat Binar.

"Iya! Enak kan jadi kucing, dipelihara sama tuan yang baik, diberi makan, diberi minum, dimandiin, dirawat, dibawa ke dokter kalau sakit, plus punya budak lagi! Tapi kucing rumahan ya! Enak kalau jadi mereka! Kayak nggak ada beban hidup paling lihatin manusia yang stress aja! Atau nggak jadi lumba-lumba!"

"Lumba-lumba?"

"Hmm... Kalau saya jadi mereka yang hidup di tonton kayak gini! Saya lebih milih buat pura-pura mati aja terus pas mau diangkat hidup lagi! Mungkin aja mereka paham kalau lumba-lumba itu hidupnya di laut bukan di daratan kayak gini. Bukan dipertontonkan tapi hidup di alam bebas! Andai saya punya kekuatan buat omong sama lumba-lumba, saya pasti bakalan kasih rencana saya buat mereka kabur!"

"Pftttt... Gimana kalau mereka nggak mau kabur?"

"Ya udah! Gimana lagi dong, kan nggak bisa dipaksain! Mas Sakya pernah nggak lihat cerita kalau lumba-lumba itu bisa jatuh cinta sama manusia?"

"Ohh... Yang itu!"

"Iya! Kita omong rencana kita yang mau kabur aja! Kalau yang biasa aja sih nggak usah! Nggak perlu! Orang jatuh cinta itu nggak bisa dibilangin jadi nggak usah diceramahin. Biarin aja biar dia kapok sendiri!"

🐳🐳🐳

Salam ThunderCalp!🤗

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Lakeswara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang