Tap.. tap.. tap..
Ditengah koridor kelas sebelas, seorang anak laki-laki berperawakan kecil seperti bocil SD berusia 17 tahun berjalan santai sambil iris merah miliknya menilik ke segala penjuru yang bisa ia lihat.
Remaja itu, Graville, memasang wajah seolah telah selesai dengan dunia ketika ia menghela napas.
"Gue pengen nyesel, tapi sadar kalo itu gak guna." Graville sejujurnya ingin menangis, sungguh. Lihat, matanya saja sudah berembun.
Salah jika kalian mengira dia tengah tersesat. Meski, ya, dia murid baru. Tapi dia sudah hapal denah sekolah yang telah kepala sekolah kirim tiga hari sebelum hari ini. Justru sekarang Graville sedang menuju ke kelas barunya yang berada di lantai dua.
Tak lama, dia akhirnya bisa melihat plang bertuliskan IPS-II tergantung megah di langit-langit kusen.
Tap.
Graville berhenti. Atensi turun dan berhenti pada pintu geser di depannya. Biasanya, pada detik inilah Graville seharusnya merasa gugup. Suatu reaksi yang wajar ketika menyaksikan belasan orang asing menatapmu begitu kau membuka pintu.
Namun disini, Graville yang kita bicarakan. Dia sedikit berbeda dari remaja normal lainnya.
Greek
"Permisi."
Suara tenang namun memiliki kesan khas suara anak 6 tahun sukses menyela guru yang tengah mengajar. Guru itu, beserta seluruh penghuni lain kompak berpaling ke arah sumber suara.
Sadar akan semua perhatian tertuju padanya, Graville perlahan tersenyum tidak sampai mata. Meski begitu tetap sangat manis dan menggemaskan.
"Maaf, Bu. Saya murid baru."
Kemudian-
"KYAAA!! GEMOY SYEKALII KAMU DECK!"
"WOY! ADEKNYA SIAPA INI? NGAKU!"
"DEK, KOK BISA NYASAR SAMPE SINI?!"
"NJIR, KEMASAN SACHET. UKURANNYA MINI BANGET!"
Seperti jam pasir yang dibalik, suasana tenang di dalam kelas berubah drastis menjadi kekacauan.
Graville hanya bisa face palm.
Apa? Apa yang terjadi?
Ctas! Ctas! Ctas!
'..wow.'
Graville tidak bisa menahan kagum. Tanpa sadar iris obsidiannya berbinar, juga mulutnya sedikit terbuka. Pasalnya, suasana kacau nan bising tadi menghilang secepat pukulan ketiga penggaris dijatuhkan membentur meja.
Guru ini pasti memiliki pengaruh besar.
"Apa kamu benar murid baru?" Guru bertanya setelah kelas menjadi kondusif.
"Ya." Graville mengangguk.
"Baik." Guru menghela napas yang entah mengapa persis seperti Graville beberapa saat yang lalu, "silahkan masuk dan perkenalkan dirimu."
Bocah kecil berusia 17 tahun itu menurut dan mulai melangkah masuk. Begitu ia berhenti di tengah kelas, Graville menyapu setiap sudut ruangan, mengamati wajah-wajah tampan dan cantik calon teman barunya. Setelah puas, seulas senyum lebar terukir membuat semua penghuni kelas dapat dengan jelas melihat dua gigi taring yang menyembul diantara gigi-gigi lain.
"Salam kenal semuanya, gue Graville Lucian."
Begitu saja sesi perkenalan berakhir.
• • • • • •
-TBC -

KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Hand
TerrorGraville bisa melihat apa yang semesta sembunyikan. Itu bukan keinginannya. Graville merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. namun semua saudaranya membencinya atas peristiwa di masa lalu. itu juga bukan keinginannya. tapi, hei, siapa bilang Gra...