Alur maju-mundur.
.
.
.
.
.
.Pintu kamar Keid diketuk, tak berapa lama dibuka setelah disetujui sang pemilik. Kenny berdiri di ambang pintu sejenak melihat putra tunggalnya itu tengah mengganti kemeja dengan kaus putih polos.
"Ada apa, Ma?" tanya Keid menoleh ke pintu kamarmya yang dibuka separuh.
"Mama boleh masuk?" tanya Kenny masih memegang handle pintu.
"Masuk saja," ujar Keid mempersilakan.
Kenny duduk di sofa ujung ranjang. "Oma menelepon, memberi tahu kalau minggu depan akan datang."
"Hmm, itu bagus. Aku sudah lama tidak bertemu Oma," ujar Keid mengangguk senang.
"Dan hubunganmu dengan Ashlynn masih jalan di tempat? Sampai kapan? Sampai oma meninggal? Atau menunggu mama juga meninggal?"
"Mama! Kok ngomongnya gitu, sih?"
"Sampai kapan Kira akan menjadi halangan hubungan kalian?" tanya Kenny.
"Aku tak tega pada Kira yang sudah kehilangan kedua orang tuanya—"
"Karenamu? Itu semua bukan salahmu! Itu sudah takdir dan jika kau terus menerus selalu ada untuknya, dia tidak akan berkembang!"
"Aku ingin menikahinya juga," ujar Keid lantang.
Kenny menatap Keid dengan mata terbelalak. "Apa katamu? Dengar, Keid. Kau memang tampan dan punya segalanya, tapi kau tak punya hati."
Kenny meninggalkan putranya dengan emosi. Ia bermaksud menemui Keid secara empat mata untuk menyadarkan Keid agar bisa menjadi suami yang baik bagi Ashlynn. Namun, bukan menerima jalan terang, justru jalan buntu yang tercipta. Keid menatap kepergian mamanya dengan perasaan berat, entah mengapa sebaris kalimat itu diucapkan begitu ringan, tetapi menyisakan sebentuk beban. Keid bangkit untuk menutup pintu dan memadamkan lampu, mungkin setelah istirahat ia akan memikirkan selanjutnya.
Keid, bangun! Keid, kau tak apa 'kan? Keid berdarah, Ma! Keid terluka karena aku.
Keid membuka mata, ngilu merasakan sesuatu ditarik setelah menembus kulit keningnya. Dokter mengatakan jika seharusnya Keid tetap tak sadarkan diri selama proses ini, dan kemudian ia merasakan jarum suntik kembali menembus lengannya. Suara tangis anak perempuan dan obrolan-obrolan menjadi tak jelas, Keid tak sadarkan diri lagi. Hening, diam dan tak bersuara.
"Keid, keid bangun! Ada dokter datang," ujar seseorang yang tak asing. Ashlynn.
"Selamat siang, Pak Keid. Adakah keluhan yang dirasakan hari ini?" tanya dokter wanita tersenyum ke arahnya sembari memeriksa dada Keid.
"Lemah, lemas, sakit semua," ujar Keid pelan, melihat dokter memeriksa tubuhnya.
"Keid! Keid, bangun!" panggil sebuah suara seperti gemerisik dedaunan di musim semi.
"Baik. Mungkin Pak Keid masih mengantuk karena pengaruh obat yang disuntikkan, Bu Ashlynn. Biarkan saja Pak Keid istirahat. Jika ada keluhan yang dirasakan Pak Keid, mohon segera mengatakannya pada dokter atau suster jaga," ujar dokter itu menerangkan.
"Pasti akan saya katakan, Dokter. Apakah hal ini wajar?" tanya Ashlynn.
Bodoh. Tentu saja itu wajar, aku hanya tak bisa sadar karena obat sialan ini. Keid mengumpat di dalam hati, matanya memang terpejam dan tubuhnya terasa rileks, tetapi telinganya masih terjaga. Ia menyerah, menunggu matanya mau diajak kompromi untuk melihat menurutnya Kira lebih cocok menemaninya di sini daripada Ashlynn, wanita yang berstatus istrinya itu. Keid tertidur. Benar-benar tak tahu berapa lama ia tertidur, begitu ingat jika ia ingin melihat keadaan tubuhnya, pun memaksa membuka mata meski hanya sekilas. Keid melihat ruangan dominan putih itu lengang, mencoba menggerakkan tangan yang tak menerima jarum infus, tetapi terasa berat.
YOU ARE READING
Deamflum [The End]
Romance21+ | Do't copy my story! Ashlynn memang sudah bersuami, tetapi suaminya justru masih sibuk dengan masa lalunya bersama Kira. Keid hanya menganggap Ashlynn sebagai teman dalam kehidupan pernikahannya. Ashlynn kira usai Keid kecelakaan akan berubah...