Bab 15- Ketemu

134 17 0
                                    

Debur ombak menghantam tebing menciptakan suara menakjubkan membungkam telinga siapapun yang ada di sekitar. Bahkan, teriakan anak-anak kecil yang bermain di bawah pohon besar yang rimbun daunnya masih saja kalah dengan deburan ombak. Seorang pria memakai baju seragam berwarna abu-abu tua memperhatikan serta mengawasi anak-anak berusia tiga hingga sepuluh tahun bermain kejar-kejaran sambil tertawa lepas. Pria itu memiliki rambut dan jenggot berwarna putih, menatap seseorang yang duduk di bangku putih bawah pohon dengan memicingkan mata. Meski matanya sudah tua, tetapi tetap saja berhasil mengenali siapa yang duduk di sana. Pria tua itu melangkah sambil menghalau anak-anak asuhannya kembali ke asrama karena sudah waktunya istirahat, perlahan anak-anak itu berlari masuk ke asrama kembali sambil melewati rumput hijau setinggi lima hingga lima belas sentimeter.

Pria tua itu sumringah dan memberi salam begitu lembut dan sopan, meski usia tamunya jauh lebih muda. "Lama tidak jumpa, apa kabar?"

Perlahan, tamu itu memalingkan wajah dan membalas sapaan pria tua yang pernah berjasa dalam hidupnya. "Selamat siang yang mendung, Bapa Rory. Aku sangat baik, Bapak juga 'kan?"

Pria tua itu terkekeh sambil melangkah untuk duduk di sisi tamunya. "Ya, beginilah. Bapak sudah semakin tua termakan usia."

Tamunya tersenyum mendengar jawaban pria tua di sisinya. "Bangkunya baru, anak-anak juga merupakan tunas baru."

"Ya, mereka dipindahkan kemari minggu lalu. Tunas lama sudah punya kehidupan masing-masing, tapi hanya beberapa saja yang datang dan mengingat tempat ini."

"Tempat dan orang-orang di dalamnya mencetak kenangan terbaik di kehidupan sepuluh tahun kedua kami dengan sangat baik." Tamu pria itu sambil menoleh ke samping.

"Kalianlah memang anak-anak baik, kalian masih datang dan membantu tunas-tunas baru agar tidak kekurangan, tanpa merasa mereka menjadi beban." Pria tua yang dipanggil Rory menepuk bahu tamunya.

"Tak akan."

"Tapi, entah mengapa bapa melihat ada kegundahan di hatimu, tampak sekali. Mau bercerita?" tanya Bapa Rory perlahan.

Pria lebih muda di sisi Bapa Rory bukanlah bisu ataukah tak lancar berbicara, hanya saja dia seorang introvert. "Rasanya tidak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita."

Pria tua menoleh dan tersenyum. "Apa yang kaurasakan saat ini?"

"Tega. Apakah aku bisa setega mereka memperlakukanku dulu?" tanya pria itu tak melihat lawan bicaranya.

"Kau punya hati yang mulia, meski terluka, kau tak membalas perbuatan mereka."

"Ini yang terakhir, Bapa. Aku tak mau lagi memikirkan apa yang tak seharusnya kupikirkan. Mereka membuangku seperti kotoran, tetapi tiba-tiba dipungut karena mereka tahu aku mempunyai segalanya." Pria itu berkata sembari terisak dan tangannya tremor.

Bapa Rory mendekap pria yang kini tak lagi tenang. "Lepaskan jika memang itu semua semakin membuatmu terluka, Reyniel."

Pria yang disebut namanya oleh Bapa Rory tak menyangkal, tak meminta ditenangkan, sebab ia tahu jiwanya tak pernah tenang sekalipun badai sudah berlalu.

"Pembicara motivasi Iyanla Vanzant pernah berkata "Tidak ada badai yang bisa bertahan selamanya. Tidak akan pernah hujan selama 365 hari berturut-turut. Ingatlah bahwa masalah akan datang, bukan tinggal. Jangan khawatir! Tidak ada badai, bahkan yang ada dalam hidup Anda, yang bisa bertahan selamanya." jadi, bertahanlah, Reyniel!" ujar Bapa Rory menepuk pelan bahu Reyniel.

Dua pria duduk di bangku putih bawah pohon besar adalah pemandangan yang dilihat oleh sepasang mata secantik bulan purnama itu. Angin yang berembus dari laut menamparnya beberapa kali setelah melewati padang rumput hijau setinggi lima hingga lima belas sentimeter. Mereka berhenti berpelukan, ah tidak, Bapa Rory tampak mengucapkan sesuatu sambil melepas dekapan, tampak wajah Reyniel memerah. Wanita itu mengerutkan kening sembari tetap memicingkan mata, berusaha membaca situasi dan berjaga-jaga perihal Reyniel. Bapa Rory menatap ke arahnya lebih dulu lalu Reyniel kemudian, mereka bangkit dari bangku dan melangkah melewati rerumputan hijau itu.

Deamflum [The End] Where stories live. Discover now