Gibran tengah duduk termenung seraya melihat kearah langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.
Angin malam berhembus menerpa rambutnya.
"Kangen," satu kata itu keluar dari mulut Gibran yang sedari tadi hanya diam.
Disisi lain Raina hendak ke balkon kamar, untuk membawakan Gibran secangkir kopi dan beberapa makanan ringan.
Namun, langkahnya terhenti. Raina bersembunyi di balik gorden pintu balkon, dirinya menatap kearah Gibran yang tengah bermonolog.
Seraya memegang sebuah bingkai foto, pria itu menatap senduh kearah bingkai foto yang tengah dirinya pegang.
Raina hanya diam melihat Gibran dari balik gorden, dengan kedua tangan yang masih memegang sebuah nampan berisikan kopi dan beberapa makanan ringan.
"Kenapa kamu pergi dari kehidupanku?"
"Apa ada yang salah dengan diriku? Zena,"
Deg!
Mendengar nama Zena disebut sontak membuat hati Raina merasa tercabik-cabik.
"Kembalilah bersamaku, aku rindu melihatmu."
"Mengapa kamu pergi bersama pria lain? Dan mengapa kamu lebih memilih pria itu di bandingkan denganku Zena?"
Gibran meremas ujung bingkai foto itu.
"Apa yang harus kulakukan agar kamu bisa kembali lagi bersamaku?"
"Aku hanya ingin kamu Zena, hanya kamu."
"Mengapa kamu melukaiku untuk yang kedua kalinya? Aku kira kamu tidak akan berbuat seperti itu lagi. Ternyata tidak kamu mengulang apa yang dulu kamu lakukan,"
"Arghhhh." Gibran berteriak kencang untuk melepaskan semua emosinya.
Setelah meluapkan semua emosinya, Gibran menunduk.
"Aku jadi kasihan pada Raina,"
"Aku membawanya kembali hanya untuk membuatku bisa melupakanmu, Zena."
Degh!
Perih itulah yang dirasakan Raina saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut Gibran.
Dirinya menahan air matanya mati-matian agar tidak jatuh.
"Aku kira dengan cara aku membawanya, kembali itu bisa membuatku melupakanmu. Ternyata tidak,"
"Aku takut jika aku akan menyakitinya kembali,"
"Dan aku takut aku akan mengingkari janjiku pada kedua orang tua Raina dan juga kedua orang tuaku,"
"Aku hanya ingin Zena kembali."
"Jika ada yang bertanya siapa yang akan ku pilih? Zena atau Raina? Tentu saja aku akan lebih memilih Zena,"
"Aku hanya berusaha untuk menghargai Raina karena dia istriku,"
"Terus terang saja perasaanku masih sepenuhnya terisi untuk Zena,"
"Dan kurasa perjodohan ini sia-sia karena aku tidak mencintai Raina sedikitpun,"
Raina sudah tak dapat menahan air matanya lagi, air mata keluar dari pelupuk mata indahnya.
"Kuat Raina kuat gak boleh lemah," batin Raina terus menguatkan dirinya agar tidak rapuh mendengar semua ucapan Gibran.
"Yakin pasti bisa, kamu pasti bisa merubah Gibran."
"Aku akan membantunya untuk melupakan masa lalunya yaitu Zena,"
"YaAllah, Aku memohon bantuanmu bantu Aku untuk bisa merubah mas Gibran,"
Raina menghapus jejak air mata yang masih menggenang dimatanya.
Dirinya menarik nafas untuk menenangkan dirinya.
Dibalik cadarnya sebisa mungkin dirinya mengukir senyuman.
"Mas Gibran?" panggil Raina yang sudah mulai berjalan kearah pintu balkon.
Gibran menoleh saat ada seseorang yang memanggilnya.
"Ra-raina? A-ada apa?" tanya Gibran.
"Aku membawakan kopi dan beberapa makanan ringan," ujar Raina lalu meletakan nampan itu di meja.
"Terimakasih kamu sungguh perhatian," sahut Gibran.
Batin pria itu berkecamuk sebisa mungkin dirinya mencoba untuk tetap tenang, dirinya takut Raina mendengar semua ucapannya.
"Kamu kenapa Mas?" tanya Raina mencoba untuk biasa saja, dirinya mencoba untuk berpura-pura tidak tahu.
"Ti-tidak ada," jawab Gibran yang sedikit gugup.
Raina yang mendengar itu mengangguk lalu tak melanjutkan pembicaraan, Raina memilih untuk pergi dari sana.
"Aku permisi kebawah,"
Setelah melihat Raina yang sudah pergi, Gibran pun menghembuskan nafas lega.
"Semoga dia tidak mendengar semua itu,"
𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠....
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bercadar Ceo Posesif
Teen FictionCerita ini menceritakan tentang perjalanan cinta wanita bercadar yang bernama Raina.