09||Kejam

1.1K 34 0
                                    

*****

Raina duduk di balkon seraya menatap bintang-bintang di langit malam yang indah.

Sesekali dirinya bergumam tentang kejadian tadi siang saat Kania datang kemari.

Sejujurnya dirinya sangat senang karena mempunyai ibu mertua yang peduli seperti Kania, namun di sisi lain dirinya tahu bahwa Gibran tidak akan diam setelah semua itu.

"RAINA!" lamunan Raina buyar kala mendengar suara seseorang memanggil namanya.

Raina menarik nafas berat, dirinya susah tahu pasti itu adalah Gibran.

"Dimana kamu?" teriak Gibran.

"Di balkon kamar," sahut Raina.

Mendengar jawaban dari Raina. Gibran pun, segera berjalan menuju kearah balkon kamarnya.

Terlihat Raina yang tengah duduk termenung seraya menatap langit malam.

"Hei!" panggil Gibran.

Raina menoleh setelah mendengar suara itu, dirinya mengangkat pandangannya untuk menatap Gibran.

Sret!

Dalam satu gerakan Gibran langsung membuat Raina berdiri dengan cara menarik tangan wanita itu dengan kuat.

Raina meringis pelan saat Gibran menarik tangannya, tak lupa Gibran mencekal tangannya dengan kuat.

"Hei! Kamu pasti yang mengadu pada Bundakan! Ngaku kamu!" pekik Gibran dengan tangan yang masih mencekal kuat lengan Raina.

"Ti-tidak," sahut Raina dirinya merasakan perih di tangannya karena kuku Gibran yang panjang terus menekan tangannya.

"Sa-sakit," lirih Raina dirinya memejamkan matanya sejenak.

"Halah! Kamu ini memang wanita munafik yang pandai menipu!" cecar Gibran.

"Aku tidak bohong, aku tidak memberitahu Bunda sama sekali. Tolong percayalah," ujar Raina.

Lapisan kaca yang ada di mata cantiknya itu sudah tak dapat di bendung, tanpa Raina sadari satu cairan bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya.

Dadanya merasakan sesak yang luar biasa akibat perlakuan Gibran, yang semakin menjadi-jadi padanya.

Kalau bukan karena keinginan kedua orang tuanya mungkin Raina tidak akan sudi menikah dengan orang seperti Gibran yang sama sekali tidak mempunyai hati nurani.

"U-umi sa-sakit," batin Raina, air mata terus menggenang dan meluncur bebas melewati pipi Raina.

Dibalik cadarnya Raina mencoba mengigit bibir bawahnya, untuk menahan tangisannya agar tidak di dengar.

Gibran yang melihat itu langsung geram, Dirinya melepaskan kasar lengan Raina.

Lalu beralih menarik dagu Raina dengan kasar.

"Heh! Tidak usah banyak drama! Hapus air mata si4lanmu itu! Jangan kamu kira saya akan luluh!" bentak Gibran.

Gibran menghempaskan dagu Raina dengan kasar.

"Saya tidak habis fikir ternyata ada yah gadis iblis sepertimu di dunia ini? Ck, sangat tidak tahu malu. Lepas saja cadarmu saya juga sudah tahu bahwa wajahmu itu jelek," hinaan itu keluar dari mulut Gibran.

"Kamu memakai cadarnya karena wajahmu jelek bukan?"

Deg!

Tubuh Raina seketika lemas saat mendengar ucapan dan hinaan yang Gibran lontarkan padanya.

"Kamu ini memangnya siapa? Orang tuaku saja tidak pernah mengatakan itu kenapa kamu berani-beraninya mengatakan hal itu?"

"Kamu saja tidak tahu wajahku bagaimana dan bisa-bisanya kamu menjelekkanku?" Pertahanan Raina runtuh air mata kembali lolos melewati pipi Raina dengan deras.

"Saya tidak pernah melawan karena kamu suamiku! Tapi kali ini kamu sudah benar-benar keterlaluan! Kamu pikir kamu siapa berani mengatakan itu?"

Gibran hanya diam mendengar penuturan dari mulut Raina, nada gadis itu terdengar gemetar.

"Cukup!" ucap Gibran saat Raina hendak mengatakan sesuatu.

"Saya tidak peduli dengan itu semua! Karena kamu berani mengadu pada Bunda. Malam ini kamu tidur disini!" titah Gibran.

"Ti-tidak! Tolong jangan disini dingin!" mohon Raina.

"Saya tidak peduli,"

Tanpa mengatakan apapun lagi Gibran pergi dari sana, dirinya menguci pintu menuju balkon itu.

Tok!
Tok!
Tok!

Raina terus mengetuk-ngetuk pintu itu agar Gibran mau membukanya.

"Tolong Mas, disini dingin," ucap Raina seraya mengetuk-ngetuk pintu balkon tersebut.

"Nikmati saja itu, anggap saja itu sebagai hukuman untukmu!"

𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠....

Istri Bercadar Ceo PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang