Bab 04

2.6K 172 0
                                    

"Apa kau tuli? Katakan yang sebenarnya terjadi!"

Arietta mengusap telapak tangan kanannya. Tamparannya cukup kuat sampai tangannya sendiri pun merasa sakit. Dia tidak menyukai pelayan di hadapannya. Pelayan tersebut tidak memiliki sedikit pun niatan untuk berbicara dengan jujur padanya, ditambah dia juga memanggil Aeris dengan sebutan yang tidak formal. Padahal jelas jika Aeris adalah seorang lady yang harus dihormati.

"S-saya menabrak Nona Aeris," ucap pelayan muda tersebut sambil tertunduk ketakutan.

"Nah, ini sama dengan apa yang aku lihat tadi. Vincontess, rencana saya untuk berbincang dengan Anda sepertinya harus dibatalkan. Saya pamit undur diri," ujar Arietta.

Arietta menuntun Aeris bersamanya. Melihat hal itu, Viscountess Blien tidak tinggal diam, dia berusaha mengadang Arietta dan membujuknya untuk tetap tinggal.

Arietta melihat Viscountess Blien sesaat sebelum berucap, "Saya akan datang lain waktu. Hari ini Putri saya merasa kurang nyaman dengan adanya pelayan yang tidak tahu tata krama. Dia lebih nyaman di rumah dengan pelayan yang sesuai."

Mengabaikan ekspresi tidak senang Viscountess Blien, Arietta berjalan pergi bersama Aeris tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Sebenarnya, Arietta tidak memiliki niatan bertemu dengan wanita tersebut. Itu hanya akal-akalan Arietta saja agar dapat masuk ke Kediaman Blien dengan mudah. Tidak disangka memang semudah itu.

Setelah memasuki kereta kuda, Aeris terdiam sampai kereta kuda tersebut mulai berjalan.

"Nyonya, ma-maafkan saya. Saya ... mempermalukan Anda...." Aeris tertunduk. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang siap jatuh kapan saja.

Dia sadar jika dirinya telah melakukan kesalahan. Aeris tahu betul jika Arietta pasti akan sangat murka sekembalinya mereka nanti. Jika sampai Arietta turun tangan, Aeris yakin masalahnya akan menjadi begitu rumit baginya.

"Tidak. Dia pantas mendapatkannya. Itu tidak seberapa, ibu malah ingin memukulnya. Daripada itu, apakah kau baik-baik saja? Tehnya seharusnya panas, apakah terciprat padamu?" Arietta bertanya seraya memperhatikan Aeris dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Saya baik-baik saja, tidak ada yang terluka." Aeris menggeleng dengan kuat.

"Baguslah. Umm ... jika kau tidak keberatan, bisakah kau mengganti cara memanggil untuk ibu? Rasanya begitu formal...."

Arietta memalingkan wajahnya. Sedikit penyesalan muncul di hatinya. Mungkin terlalu cepat baginya untuk meminta Aeris melakukan hal itu. Arietta yang asli adalah sosok yang begitu kejam, dia yang merupakan Arietta yang sekarang tidak bisa berbuat seenaknya yang bisa saja menambah rasa takut Aeris.

"Seperti ... Ibu?"

Pipi Arietta memerah. Dengan perasaan malu ia mengangguk pelan.

"Baik, Ibu!"

Arietta mengalihkan pandangannya ke luar, memperhatikan lalu lalang di pagi hari yang ramai. Sudut bibirnya tertarik, menciptakan sebuah senyum yang begitu indah.

***

"Kau mau kamar ini?" Arietta memeriksa kamar kosong yang dipilih oleh Aeris.

Dari kemarin Aeris masih belum memikirkan kamar yang akan dia tempati, dan baru hari ini dia mengatakannya, itu pun karena Arietta bertanya padanya.

Menjadi Ibu Tiri Sang Protagonis (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang