Bab 29

775 66 0
                                    

Seorang pria muda masuk bersama dengan Richard. Dia memiliki rambut coklat yang indah dan sepasang manik mata dengan warna yang senada. Dia segera duduk setelah dipersilakan.

“Selamat pagi, Nyonya. Ini sangat mendadak, tapi ada sesuatu yang terjadi pada putra Anda di akademi,” ucapnya tanpa basa-basi. Ia membetulkan kacamatanya sesaat sebelum kembali menatap Arietta.

“Putraku?! Apa yang terjadi? A-apa dia kecelakaan? Atau sesuatu yang lain?” Langsung saja Arietta menghujani berbagai pertanyaan pada pria muda tersebut. Bagaimana tidak khawatir, yang di hadapannya adalah utusan dari pihak akademi, mustahil jika apa yang ia sampaikan adalah hal sepele.

“Bukan, bukan kecelakaan. Tadi sempat terjadi keributan dan putra Anda adalah akar masalahnya. Dia memukul murid lain di akademi! Saat ini, orang tua dari murid itu juga dipanggil. Saya harap Anda bisa datang!” pria muda tersebut menjelaskan dengan cukup singkat.

Arietta langsung mengerti. Aiden membuat masalah di akademi. ‘Dia menang atau tidak, ya?’ batinnya.

“Baiklah. Saya akan segera memenuhi panggilan pihak akademi. Richard, siapkan kereta kuda!” perintah Arietta.

Arietta baru teringat jika Aiden memiliki kesabaran yang tipis. Dia bukan tipe orang yang dapat menahan amarah. Emosinya dapat meledak jika tersulut. Selama ini, Aiden berusaha menahan diri akibat tekanan dari Arietta. Meskipun demikian, tidak mudah baginya sehingga kerap kali ia kelepasan dan harus mendapat hukuman dari Arietta yang asli.

Setelah kereta kuda disiapkan, Arietta segera berangkat. Dari wilayahnya, pergi ke ibu kota membutuhkan waktu sekitar satu jam dikarenakan rute yang tidak begitu mulus.

Setibanya di akademi, mereka segera menjadi pusat perhatian. Itu adalah hal yang wajar. Mustahil tidak terjadi sesuatu saat orang tua hadir ke akademi.

Di ruang pertemuan, sudah ada orang tua dari murid lain. Ternyata, tidak hanya satu, tapi dua, ada dua orang anak yang dihajar oleh Aiden.

Lihat saja babak belurnya, Arietta tahu jika pukulan Aiden tidak main-main. Berbeda dengan dua pemuda yang duduk dengan muka masam di samping orang tuanya, Aiden justru berdiri dengan wajah tertunduk.

“Aiden....” Arietta berjalan mendekat. Dia ingin melihat wajah Aiden. Namun, Aiden langsung menghindar, mengalihkan tangan Arietta.

“Jangan menghindar!” bisik Arietta yang sudah geram. Kedua tangannya meraih pipi Aiden dan memaksanya untuk mengangkat kepala.

Arietta terdiam. Melihat bibir Aiden yang robek dan darah yang keluar dari hidungnya membuat hati Arietta bak tersayat pisau tak kasat mata. Dia mengusap kedua pipi Aiden lembut dan berbalik pada orang-orang yang berada di dalam ruangan. Arietta tidak sadar sebelumnya, tapi sekarang dia menyadari jika salah satu tangan pria yang duduk di sofa itu kotor oleh darah. Tak hanya itu, di atas meja juga tergeletak sebuah sapu tangan penuh bercak darah.

“Aiden, katakan pada ibu, siapa yang melakukan ini!” Arietta mengusap bibir Aiden yang robek. Pemuda tersebut meringis menahan sakit.

“Saya hanya ceroboh. Saya tidak bisa menahan emosi saya dan memukul mereka. Saya siap menerima hukuman,” tutur Aiden yang kembali menundukkan kepalanya.

“Apa itu mereka? Luka anak-anak itu tak sebanding dengan milikmu. Dari gelagat mereka, mereka bahkan tidak bisa melancarkan tinju yang kuat. Bagaimana bisa mereka melukaimu hingga seperti ini? Katakan, yang mana?” titah Arietta sekali lagi.

Namun, Aiden menggeleng, menolak untuk menjawab.

Melihat bagaimana sikap Aiden, Arietta tentu menyadari apa yang terjadi. Tanpa aba-aba, tanpa mengeluarkan suara, Arietta menyambar vas bunga di atas meja.

Menjadi Ibu Tiri Sang Protagonis (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang