13. Nadhira sayang Papa

2.3K 69 0
                                    

"Huh, nyebelin banget!! Bisa gak sih, Bu Dewi ngasih hukumannya tuh yang enteng-enteng. Misalnya kayak makan 3 burger gitu?!"

Sedari tadi, Nadhira sibuk mengoceh sembari menyikat toilet.

"Ugh, bau banget!"

Ia mulai menutup hidungnya agar dirinya tidak mencium bau busuk tersebut. Kemudian, ia lanjut menyikatnya dengan sangat telaten.

"Awas aja!! Abis ini, gue mau ke ruangan Pak Sagara!!"

........

Selesai membersihkan toilet. Benar saja, Nadhira buru-buru pergi ke ruangan Sagara. Bahkan, saat ini ia telah berada di depan pintu ruangan Sagara.

"Awas aja!!!!"

"Brak.."

Pintu terbuka dengan suara yang sangat kencang. Hingga Sagara yang tadinya mengantuk, seperti segar kembali akibat dorongan pintu dari Nadhira.

"Pak Gara!!!!!"

Dengan langkah yang sengaja ia hentak-hentakkan, Nadhira berjalan mendekati Sagara.

Sagara menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak mengerti mengapa Nadhira menghampirinya.

"Pak!!!!!! Saya mau komplain!!" ketus Nadhira.

"Apa?" tanya Sagara dengan sangat malas.

"Brak.." Meja Sagara di pukul kencang oleh Nadhira.

"Duh, sakit" ringisnya.

Sagara hanya menahan tawa saja melihat tingkah Nadhira yang seperti itu.

"JANGAN KETAWA!!!!!!!"

"Jadi, saya kesel sama Bapak. Kenapa Bapak ceritain kejadian kemarin ke Bu Dewi?! Saya kan jadi di hukum Bu Dewi!"

"Itu bukan urusan saya" jawab Sagara dengan bersedekap dada.

Nadhira yang tak terima pun melototkan matanya. "Lho?! Kan Bapak yang aduin ke Bu Dewi"

"Kalau kamu gak mau di atur sama saya. Berarti kamu harus mau di atur sama Bu Dewi"

"Ah, iya. Pelajaran kamu tadi tertinggal. Besok kamu datang ke rumah saya jam satu siang, kita akan mulai les private besok"

Wajah Nadhira yang sedari tadi kusut, semakin menjadi tambah kusut. "Saya gak mau, ah. Bosen tau belajar gituan"

"Ini salahmu sendiri karena tidak memahami pelajaran matematika"

"Nyenyenye"

Dengan malas, Nadhira menutup telinganya.

"Kamu ini tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orangtuamu, hm?"

Nadhira membuka telinganya kembali, ia terkekeh geli mendengarnya. "Bapak gak tau kehidupan saya, gak usah sok-sokan ngomong begitu"

"Udahlah, saya mau cabut dulu"

Setelah itu, Nadhira pergi dari ruangan Sagara.

Sementara, Sagara hanya diam saja memperhatikan.

"Ada apa dengan dia?"

......

Malam harinya, Nadhira tengah bersiap-siap untuk tidur. Ia keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai-nya. Rasa-rasanya, ia sudah sangat mengantuk.

Namun, pintu kamar Nadhira terbuka. Sontak, tatapan mata Nadhira tertuju ke arah pintu.

"Papa?"

Genta berjalan mendekati Nadhira.

"Kenapa, Pa?" tanya Nadhira tidak mengerti.

Mengapa Papa-Nya berada di sini?

Genta pun duduk di pinggir ranjang Nadhira, ia mulai mengamati sudut ruangan Nadhira. Banyak gambar-gambar yang tertempel pada sisi ruangannya.

Salah satunya, sebuah gambar yang di dalamnya berisikan sebuah keluarga yang tengah berbahagia.

Genta sedikit tersentuh melihatnya.

"Sini" titah Genta sembari menepuk-nepuk samping kanannya.

Nadhira mengangguk, lalu berjalan mendekati Genta dan duduk di sampingnya.

"Kamu sudah besar, Dhira"

Nadhira diam, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Kalau suatu saat nanti Papa tidak ada di sampingmu, kamu harus kuat menjalani kehidupan yang keras ini" ujar Genta.

Nadhira terkekeh geli mendengarnya, "Dari dulu juga Papa gak ada di samping Dhira.

"Dhira udah terbiasa jalanin semuanya sendiri" lanjut Nadhira.

Genta terdiam. Ia memang tidak pantas dikatakan sebagai seorang 'Ayah'

"Dhira capek, Pa. Gak ada yang ngertiin Dhira"

"Nadhira, dunia memang jahat. Papa harap, kamu akan selalu jadi baik. Jangan jadi seperti Papa Mama ya, nak"

Nadhira tersenyum miring, ia duduk menghadap Genta. "Nadhira juga gak pernah mau jadi Papa Mama. Kalian selalu mentingin ego kalian, tanpa mikirin perasaan anaknya"

Genta menunduk, "Papa minta maaf.."

"Tapi sayangnya, kata maaf gak cukup buat sembuhin luka hati Dhira selama ini" sela Nadhira.

Sudah lama sekali Nadhira ingin mencurahkan semua isi hatinya kepada kedua orang tuanya. Dan mungkin, ini saat yang tepat untuk itu.

"Papa sayang sama kamu. Tolong jangan benci Papa"

Air mata Nadhira keluar dengan perlahan. "Nadhira gak pernah benci Papa, Dhira cuma benci takdir"

Genta mulai menghadap Nadhira, ia mengelap air mata Nadhira yang baru saja terjatuh. "Jangan pernah benci takdir, takdir gak pernah salah. Di setiap kesedihan, pasti ada kesenangan. Papa harap, kamu bisa nemuin kebahagiaan kamu"

"Kalo gitu, kenapa kita gak bikin kebahagiaan aja, Pa?? Kenapa harus di temuin? Kita bisa kok jadi keluarga yang harmonis kalo kita mau"

Genta mengulas senyum tipis, "Papa gak yakin bisa"

"Kenapa, Pa?.." lirih Nadhira.

Genta menggeleng, ia tidak berani menatap Nadhira lagi.

Genta menghela nafas berat. Lalu tidak ada percakapan lagi diantara mereka.

Canggung, itulah keadaan mereka saat ini.

Tak ingin berlama-lama, Genta bangun dari duduknya.

Nadhira pun menatap Genta yang baru saja bangun.

Genta mengeluarkan 5 lembar uang berwarna merah dari kantung celananya.

"Ini uang buat kamu jajan"

Nadhira menatap uang tersebut. "Apa gue harus ambil?"

"Emang, gak apa-apa?"

Hati Genta seperti tertusuk, bisa-bisanya Nadhira bertanya seperti itu padanya. Apa karena dirinya jarang memberi uang?

"Ambil"

Nadhira pun mengambil uang tersebut dengan perlahan. "Terima kasih, Pa"

"Jadi anak baik ya, jangan pernah jadi jahat" ujar Genta seraya mengelus pucuk kepala Nadhira.

Nadhira mengangguk sambil tersenyum. "Dhira bakalan inget selalu kata-kata Papa"

Genta tersenyum tipis, lalu pergi dari kamar Nadhira.

"Nadhira sayang Papa, tapi Nadhira gak mau punya suami kayak Papa"

NASA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang