BAB 18

5.6K 209 24
                                    

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading

Sudah hampir tigapuluh menit Amora menenangkan dirinya. Ia akan mengikuti saran Ayahnya untuk menemui Javier yang berada di taman belakang.

Ia melangkahkan kakinya pelan keluar kamar. Hingga sampailah ia di taman belakang. Jantungnya berdetak tak karuan, pikirannya berkecamuk membuat air matanya kembali keluar.

Rasa bersalahnya semakin besar ketika melihat Javier terduduk menunduk. Terselip rokok di antara celah tangannya.

"Javierrr... Hikss... Maaf," rengeknya lirih dari kejauhan. Tidak ada jawaban dari Javier, posisinya tetap sama terduduk menunduk sambil menghirup nikotin berbentuk lonjong tanpa henti.

Amora berjalan cepat dan saat hampir tiba di depan Javier, ia melangkahkan langkahnya ragu. Takut jika Javier akan memarahinya, namun ia terima itu. Ini salahnya wajar jika Javier marah seperti itu kepadanya.

"Maafin ucapan gue tadi... Gue-" ia tak bisa melanjutkan ucapannya. Rasa mual itu kembali menghantam perutnya lagi membuat ia berlari ke kamar mandi lantai bawah untuk memuntahkannya.

Hoekk

Hoekk

Javier melihat itu, buru-buru ia mematikan rokoknya lalu berlari menyusul Amora.

Ia memijat pelan tengkuk Amora berusaha memberi kenyamanan. Dan tangan satunya ia gunakan untuk menghalau rambut Amora yang bergelantungan.

"Sakittt... Perutnya sakit," rintihnya, ia memegang perutnya lalu meremat pelan.

Amora menjatuhkan tubuhnya dipelukan Javier. "Hiks... Sakit banget... Hiks," Amora menangis di dalam pelukan Javier, kepalanya menyender pada dada Javier hingga terdengar suara detak jantung Javier.

Ia benar-benar merasa sangat nyaman di pelukan Javier. Selalu, jika ia bersentuhan dengan Javier rasa mual itu pasti akan menghilang.

Keduanya terdiam dalam posisi berpelukan.

"Maaf...," lirihnya. Sejak tadi Javier tidak mengeluarkan sepatah katapun padanya ia bahkan sama sekali tidak membalas pelukannya.

"Maafin gue... Lo boleh pukul gue! Lo boleh apaain aja gue! Lo boleh ngatain gue balik!" ia mengguncang tubuh kekar Javier di hadapannya.

"Lo boleh hina gue! Gue emang bodoh! Gue emang tolol! Gue pantes mati!" makinya pada dirinya sendiri.

Namun, Javier tetap diam tak berkutik. Ia menatap bola mata Amora dalam membiarkan Amora berbicara.

"Gue emang sial-"

Cup

Javier membungkam bibir Amora menggunakan bibirnya. "Stop calling yourself names using your sweet lips. I really hate it," desisnya setelah melepas ciumannya.

JAVIERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang