- 21 -

54 6 1
                                    

---

Unexpected

---

Hayoon akui, penelitian jurnal terbarunya memang sangat memakan waktu dan tenaga. Jiwoong juga, peluncuran produk baru tentu saja mengharuskan pria itu lebih sibuk dari biasanya. Jiwoong bahkan harus dinas ke luar kota untuk promosi selama tiga hari dua malam. Hayoon sudah tahu, bahkan dia sempat mengantar kepergian Jiwoong pagi-pagi sekali. Walau hanya sampai parkiran apartemen, Hayoon tetap memberi senyuman penyemangat. Jiwoong juga sama tersenyumnya, tapi kenapa, sih, masih ada yang mengganjal di hati Hayoon?

Hayoon sering kali hilang fokus, terhitung sejak pertemuannya dengan Jiwoong di restoran. Beberapa kali Hao harus menyadarkannya dari lamunan saat di laboratorium. Hayoon juga sering menatap kosong ke layar laptop yang menyala. Seolah terlampau banyak yang dia pikirkan. Padahal yang ada di sana hanya Jiwoong, Jiwoong, dan Jiwoong. Itu saja sudah berlebihan bagi Hayoon. Dia benci dengan perasaan yang mengganggu seperti ini. Mau dituntaskan tapi entah apa yang harus dilakukan.

Tak tahan dengan perasaan mengganjal yang mungkin bisa mempengaruhi kehidupannya, Hayoon berusaha mencari bantuan, dan satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara leluasa hanya Arin. Jadi sambil membuka laptop di atas meja makan, Hayoon menyalakan speaker saat menelepon Arin. Dia berharap bisa meluruskan akar masalahnya.

"Ah... Aku gak suka perasaan ini! Mengganggu!" keluhan Hayoon, seraya menekan keyboard nya keras-keras. Deretan kalimat di layar laptop kembali dihapus karena Hayoon tak kunjung puas.

Sementara itu, di ujung telepon terdengar tawa Arin, "Hahaha! Hayoon-ku ini benar-benar jatuh cinta, ya?"

"Bisa serius sedikit?" wajah Hayoon tertekuk kesal. Nada suaranya juga dipertegas, tapi yang namanya Arin mana pernah terpengaruh. Suara tawa wanita itu malah terdengar semakin jelas.

"Kalau gitu perjelas perasaanmu biar gak mengganggu! Yah, walau udah kelihatan, sih..."

"Bicara yang jelas!" Sumpah, Hayoon sedang tidak mau berpikir, tapi Arin seolah mengulur-ngulur waktu. Bicaranya bahkan sangan lambat, membuat Hayoon yang serba to the point merasa tidak sabar.

"Jadi, sebenarnya apa maumu? Memangnya kamu gak mau pacaran sama kak Jiwoong?"

Tiba-tiba Hayoon berhenti mengetik, sehingga hanya suara sunyi yang dia suguhkan sebagai jawaban pertanyaan Arin. Raut wajahnya berubah, seolah baru saja tertampar oleh sesuatu yang tak pernah dia lihat wujudnya. Sesuatu yang baru, yang tak pernah sedikit pun melintas dikepalanya. Hayoon jadi bertanya-tanya, apa benar itu yang dia inginkan? Apa itu yang mengganggu perasaannya belakangan ini?

"Jangan bicara omong kosong," acuh Hayoon lalu kembali mengetik.

"Loh, bukannya kamu kesal karena gak bisa mengakui kak Jiwoong sebagai pacarmu?"

Tak!

Satu ketukan di keyboard menuntun sepi yang mengikuti bersama diamnya Hayoon. Arin benar, Hayoon memang agak kesal saat mengenalkan Jiwoong pada Hao. Hayoon tidak tahu bagaimana caranya menyebut orang penting yang lebih dari sekedar teman. Mungkin memang benar, itu masalahnya.

"Aku benar, 'kan?" suara Arin kembali menyadarkan Hayoon. Namun karena tak kunjung menjawab, Arin kembali berkata, "terus, gimana respon kak Jiwoong?"

Hayoon tidak lagi merasa mampu menyusun jurnalnya. Kepalanya sudah lebih dulu memutar kilas balik sikap Jiwoong setelah insiden restoran malam itu. Hayoon tak menemukan perubahan spesifik dari Jiwoong. Mereka masih saling bertukar pesan dan sapa, walau tidak terlalu sering. Tapi bisa dimaklumi, karena mereka benar-benar sibuk.

Red Thread Of Fate » (Kim Jiwoong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang