---
Their boundaries.
---
Alih-alih menenangkan pikiran dengan alkohol, Hao memutuskan pergi lebih jauh ke tempat yang lebih senyap. Menghindari hiruk-pikuk kota, sembari menikmati udara segar serta indahnya pesona alam. Hao membawa Hayoon ke daerah pesisir, mengajaknya berjalan santai di bibir pantai. Hayoon tak sempat protes, atau lebih tepatnya, dia tidak bisa. Hayoon bahkan tak mau buka mulut selama perjalanan, dan memilih pasrah ke mana pun Hao membawanya. Namun, setelah beberapa hembusan napas dia hela, Hayoon mulai berbicara selagi mereka menyusuri bibir pantai beriringan.
"Nice place..."
Hao tersenyum lembut, walau dia tahu Hayoon tidak mungkin menyadarinya. Hao memandangi Hayoon dari sisi, mengagumi bagaimana rambut ikalnya beterbangan terbawa angin. Matahari sudah sepenuhnya terbenam, tapi Hayoon masih tampak cantik walau hanya terkena cahaya bulan. Temaram, tenang, dan nyaman. Hao seolah enggan melunturkan senyum saat dia mengagumi wanita di sampingnya.
"Kind of reminds me of that night in Germany," ujar Hao lembut, tapi cukup untuk membuat Hayoon mengernyit, berusaha menggali ingatannya lebih dalam.
"Maksudmu, waktu kita ke pantai malam itu?" tanya Hayoon, setelah beberapa detik tenggelam pada masa di mana mereka menghabiskan waktu bersama di pinggir pantai di Jerman. Saat itu, keduanya sedang kesulitan karena harus beradaptasi dengan bahasa, budaya, dan lingkungan baru. Belum lagi pasca sarjana yang harus mereka selesaikan. Dengan kesulitan yang mirip, Hayoon dan Hao menjadi dekat setelah sama-sama menenangkan diri di pesisir malam itu.
"Ya. Setelah itu, semuanya jadi lebih baik, 'kan?"
Hayoon mengangguk seraya tersenyum kecil, mengingat bagaimana mereka mengatasi kesulitan setelahnya.
"Jadi aku harap... semuanya jadi lebih baik bagimu setelah ini."
Hayoon menghentikan langkahnya, yang kontan membuat Hao mengikuti. Wanita itu menatap turun pada pasir pantai di depannya, sementara Hao menatapnya cemas. "Sorry... for seeing that."
Hao menarik napas dalam-dalam, lalu dihela panjang saat dia beralih ke depan Hayoon. Melihat sepasang kaki berdiri di hadapannya, Hayoon mendongak dan mendapati Hao sedang menatap lautan. Begitu Hao menoleh padanya, Hayoon ikut menatap hamparan laut. Hening sempat mengisi jeda selama beberapa detik, sebelum kemudian Hao berkata, "Yīqiè dūhuì hǎo de."
Hayoon tetap diam, tak bisa memahami maksud ucapan Hao yang dia yakini adalah bahasa Mandarin, his mother tongue. "Everything will be fine," ujar Hao, menoleh pada Hayoon seraya tersenyum. "Aku mungkin gak tau apa yang terjadi, tapi... Aku yakin kamu bisa melewatinya," lanjutnya.
Hayoon tidak membalas, pandangannya jatuh pada lautan yang kini gelap memantulkan cahaya bulan. Samar-samar nyeri didadanya berdesir, seirama dengan deburan ombak yang bergemuruh tenang. Kemudian tersapu lenyap bersama angin pantai yang menerpa tubuhnya. Hayoon menarik napas dalam-dalam, lalu dihela panjang. Aroma pantai masuk memanjakan penciumannya, dan dengan semua kenyamanannya, berhasil membuat Hayoon semakin tenang.
Namun, seolah dunia tak ingin membuatnya tenang, ponselnya bergetar ribut dari saku celana. Hayoon meraihnya, melihat nomor tak dikenal tertera dilayarnya. Pasti Hyeongjun. Ternyata setelah beberapa minggu senyap, pria itu sepertinya memilih kembali mengganggu Hayoon. Tapi kenapa harus disaat seperti ini? Saat Hayoon sendiri sedang kalut dan menyedihkan. Hayoon menolak panggilan itu, dengan cepat mematikan ponselnya hingga gelap. Lalu benda pipih itu disimpan kembali dalam-dalam ke saku celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Thread Of Fate » (Kim Jiwoong)
FanfictionSong Hayoon bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan pria populer mana pun karena trauma masa lalunya. Maka dari itu, Hayoon selalu menghindari Kim Jiwoong. Kim Jiwoong, pria populer yang selalu mampu membuat gadis mana pun menjerit hanya den...