Pernahkah kau mendengar kalimat jangan berjanji ketika bahagia dan jangan pula mengambil keputusan ketika marah. Saat sedang marah, otomatis kepala dan hati panas. Tak bisa berpikir jernih. Yang dikedepankan tak lebih hanya emosi. Maka keputusan yang di ambil pada waktu itu saat sedang marah, biasanya keputusan yang tidak tepat. Terlampau tergesa - gesa, hingga seringkali menimbulkan sesal di akhir. Saat sedang gembira, dunia rasanya lebih indah. Segala hal terasa menyenangkan hati, fokus diri hanya pada rasa yang melambung di hati. Maka janji yang di ucapkan pada waktu itu saat sedang gembira, biasanya hanya sekedar imbas dari rasa gembira yang meluap. Sekedar berjanji, namun tak begitu memperdulikan isi dari janji tersebut. Terlampau tergesa gesa mengiyakan janji, hingga seringkali menimbulkan sesal di akhir.
Jadi saat aku dan dia yang tengah melambungkan cinta setinggi-tingginya diiringi bahagia yang rasanya tak akan pernah usai justru saling berjanji untuk tidak saling meninggalkan. Tapi apa? Nyatanya itu benar, janji yang dibuat saat tengah bahagia itu adalah omong kosong belaka. Jungkook meninggalkanku.
Aku yang telah bersama dengannya saat menginjakkan kaki di tingkat pertama SMA, yang manakala itu Jungkook adalah seniorku. Dia adalah cinta pertamaku. Kata orang cinta pertama akan melekat dan kalau berpisah sulit untuk dilupakan. Jadi apakah ini yang tengah terjadi padaku? Aku sulit sekali melupakannya, tapi apakah dia juga sulit melupakanku? Secara aku ini bukan cinta pertamanya.
Memasuki usia dua puluh tahun dan dia 22 tahun, kami justru dengan mudahnya mengikat diri dengan status pernikahan. Padahal umur kami saat itu masih terlalu muda untuk menikah. Tapi saat cinta tengah menggebu semua seakan buta. Aku dan dia sama-sama saling tidak ingin kehilangan dan tidak ingin dimiliki oleh orang lain. Seperti tidak memikirkan masa-masa muda yang bisa dihabiskan sebelum menikah, kami justru memilih menikah dimasa muda.
Belum genap dua tahun usia pernikahan kami, justru dialah yang mengingkari janji, dia meninggalkanku. Tak sepenuhnya salahnya, mungkin baiknya dulu aku juga berfikir lebih dewasa dan kritis mengenai impian dan masa muda yang patutnya di puaskan terlebih dahulu. Jika kau tanya apa aku menyesal? Tidak, aku tidak menyesal karena itu adalah bagian dari cintaku. Tidak menyesal tapi aku kecewa.
Hari-hari yang aku lalui sangat sulit, aku bahkan tidak bisa makan dengan baik selama kehamilanku. Tapi syukurnya ada Seokjin Oppa. Dia yang selalu memastikan aku sudah makan atau belum. Dia yang selalu bersusah payah menuntaskan keinginanku saat tengah mengidam. Dia pula yang repot mengatur jadwalnya hanya untuk menemaniku cek kandungan. Dan dia pulalah yang menemaniku saat masa-masa beratku kehilangan bayiku yang saat itu baru saja lahir ke dunia. Semesta memang sebercanda ini padaku, mulai dari menolak mentah hubunganku dan Jungkook yang selalu saja ada kendala, lalu memisahkan aku dan jungkook, dan lagi membawa bayiku pergi. Aku seolah tak diizinkan untuk merasakan bagaimana bahagia yang sebenarnya.
Tapi diisi lain aku juga percaya bahwa semesta mungkin punya sekotak bahagia yang sengaja disimpan untuk diberikan padaku suatu saat nanti, semesta tidak sejahat itu membiarkanku terus terluka bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissipate || Jungkook || Jeon Jungkook | FINISHED
Fanfic*Sudah Tamat & belum direvisi* "Dia sudah tiada" Lengang. Jungkook membulatkan mata sebelum benar-benar menghapus air matanya. Ia jelas tertohok, bibirnya kian bergetar. "Ra..." "Anak kita sudah tiada, Jungkook. Lalu bagaimana kau memperbaikinya?" T...