*Sudah Tamat & belum direvisi*
"Dia sudah tiada"
Lengang.
Jungkook membulatkan mata sebelum benar-benar menghapus air matanya. Ia jelas tertohok, bibirnya kian bergetar.
"Ra..."
"Anak kita sudah tiada, Jungkook. Lalu bagaimana kau memperbaikinya?"
T...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cepat sekali brangkar itu tiba dan didorong menuju ruangan. Pria itu ikut mendorong dan tidak melepaskan genggaman tangan mereka. Tangisnya tak kunjung reda, penampilannya tak dipedulikan olehnya. Perasaannya sama, sama seperti dulu saat Sora keguguran. Rasa takutnya, frustasinya, rasa sesalnya, sesaknya, semua menjadi satu.
"Kumohon sayang bertahan" hanya itu kalimat yang berulang kali sebelum perawat menahan dirinya untuk tidak masuk ke ruangan tersebut.
Pintu itu ditutup seraya meninggalkan Jungkook sendirian diluar sana. Menatap pintu ruangan yang sudah tertutup rapat seolah memberi menusuk dadanya dengan jutaan rasa sakit yang tidak bisa ia tahan, terasa sesak, nyeri dan menyakitkan. Kini tatapannya turun pada lantai yang dingin. Seketika emosinya meluap, ia memukul tembok yang ada dibelakangnya berulang kali, ia menarik rambutnya frustasi, bahkan ia juga memukul kepala, juga tubuhnya berulang kali. Menyiksa dirinya sendiri harapnya kekacauan dalam dirinya bisa teralihkan. Ia meraung dan menangis bak orang gila yang kehilangan kewarasannya.
"Sora... Ku-mohon jangan tinggalkan aku!" hanya itu yang ia pinta berulang kali.
Terus saja ia menyiksa diri tapi rasa sakit pada dirinya tidak bisa memukul mundur ketakutan dan penyesalan yang ada pada dirinya. Ia tampar wajahnya sendiri hingga darah segar keluar dari sudut bibirnya, kembali ia pukul dadanya sekuat yang ia bisa berganti dengan rambut yang ia tarik kuat tanpa peduli ada banyak helaian yang rontok. Sampai tubuh itu jatuh merosot ke lantai. Tak lama ayah Sora datang dengan pengamanan super ketat, bodyguard yang ia perintah untuk menjaga anak dan menantunya itu memberi kabat tentang sang putri. Tubuh pria paruh baya itu merendah, ia rengkuh tubuh menantunya yang sudah berantakan itu, menepuk pelan punggung yang sudah bergetar hebat dengan tangisan pilu yang mengusik telinga dan hatinya.
"Jangan siksa dirimu lagi!" tahan ayah manakala tangan Jungkook masih bergerak memukul dadanya.
"A-ayah.. Aku takut dia pergi" lirihnya pilu.
Maka sama seperti Jungkook, ayah juga merasakan takut yang sama. Takut akan anak semata wayangnya yang akan menyerah pada semesta dan memilih pergi pada tempat tinggal yang lain, tempat yang sama dengan mendiang ibunya.
Sudah hampir tiga jam berlalu dan selama itu juga tidak ada dokter maupun perawat yang keluar dari sana. Jungkook kini tidak menangis lagi, hanya saja ia masih setia duduk meringkuk dilantai yang dingin dengan memeluk kedua lututnya. Kepalanya yang berisik ia tumpukan pada lututnya. Tak sekali pun kebisingan di kepalanya mereda, ada banyak sekali ketakutan yang menghantui pikirannya. Ayah Sora tak bisa membujuk pria itu lagi untuk sekedar duduk dikursi yang ada disana, karena sudah beberapa kali ditolak.
Beberapa jam menunggu, dengan Jungkook yang sudah menatap kosong pintu ruangan yang belum juga terbuk berharap dokter keluar membawa kabar baik. Tangisnya sudah tak berisik tadi namun kini ia hanya menangis dalam diam. Air matanya masih menetes walau hanya sesekali. Dirinya diam dengan nafas yang terasa sesak untuk ia hirup, kini punggungnya terasa sudah mengeluarkan keringat dingin. Pikirannya jauh melayang pada ketakutan-ketakutan yang belum tentu terjadi. Namun seketika pikirannya buyar manakala pintu terbuka dan Jungkook segera bangkit untuk mendekat begitu pun ayah.