Aku terdiam setelah beberapa kali jemariku menekan tombol di remot guna mengganti channel siaran televisi yang isinya hanya rumorku saja. Tak dipungkiri aku marah dan takut secara bersamaan. Aku tidak takut pada karirku yang mungkin hancur, tapi aku justru takut pada keadaan mental Sora yang bisa saja dihabisi oleh orang-orang tidak berperasaan. Aku marah pada orang yang dengan mudahnya menyebar foto dan video lamaku bersama Sora hingga membuat rumor itu kian melejit. Aku tidak akan menutupinya lagi, aku rasa ini adalah akhir dari karirku. Tapi bagaimana bisa aku mengatasi keadaan Sora yang mungkin tengah kesulitan disana sedangkan aku belum bisa menemukan keberadaannya.
Ponselku terus berdering namun aku hiraukan karena sudah bisa kutebak Jimin dan pihak agensi pasti sedang mencariku dan memastikan keadaanku. Aku memilih abai karena sudah malas meladeni mereka yang pasti menekanku agar melakukan keinginan mereka. Tentu saja tidak ada agensi yang mau rugi karena rumor artisnya, mereka sudah pasti tengah mengatur siasat bagaimana cara mengatasi masalah yang didera sekalipun itu dengan membohongi publik.
Benar kata orang sesuatu yang diawali dengan kebohongan tidak akan pernah berakhir baik. Mungkin ini yang telah aku dapatkan, aku tidak perduli lagi dengan kaririku yang mungkin hancur. Sekarang yang aku pikirkan hanya Sora, aku ingin Sora, aku harus memastikan keadaannya baik, aku harus memperbaiki yang sudah kurusak dan aku ingin membuat semuanya layak untuk ia jalani. Aku memohon pada semesta tolong izinkan aku memperbaiki segalanya, aku ingin hidup dengan bahagia bersama Sora bukan derita tanpa wanita itu.
Ditengah kalutku, aku teringat seorang dokter sempat menghubungiku mengenai pendonor jantung yang sudah ditemukan. Tanpa pikir panjang aku pergi menuju rumah sakit tempat anak itu dirawat tanpa peduli kalau bahaya tengah mengincarku. Media pasti tengah mencari-cari keberadaanku, tapi sungguh aku tidak lagi peduli. Rasanya aku sudah berada di titik pasrah dan tidak memperdulikan karirku lagi.
Mobil yang ku kendarai membelah jalanan Seoul dengan kecepatan tinggi, hingga aku tiba disana lebih cepat. Sebagian orang-orang yang jeli mungkin saja bisa mengenaliku yang menggunakan masker untuk menutupi wajahku tapi sebagian acuh dan tidak peduli sama sekali. Aku melangkahlan tungkaiku hingga diujung koridor aku bisa mendengar suara tangisan pilu seorang anak yang ketakutan memanggil nama sang ibu dan cukup mengiris hati. Namun suara itu terdengar tidak asing hingga jantungku terasa berdenyut lebih cepat, ada rasa nyeri dan khawatir membuat langkahku kian cepat hingga bisa kulihat seorang perawat tengah mendekap pasien anak tengah didekap seorang perawat wanita yang terus memanggil ibunya, memberontak meminta tolong agar ibunya ditolong.
"Goo"
Panggilku setelah melepas masker yang kugunakan.
"Paman Jungie?" Lirihnya dengan mata merah yang sudah berderai air mata.
Netraku terkunci pada Goo yang tengah menangis memanggil mamanya. Hatiku nyeri luar biasa, bukankah ini terlalu berlebihan jika hanya tentang kasihan? Ini lebih dari itu, rasanya kata kasihan pun tidak bisa kujadikan alasan untuk nyeri pada hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissipate || Jungkook || Jeon Jungkook | FINISHED
Fiksi Penggemar*Sudah Tamat & belum direvisi* "Dia sudah tiada" Lengang. Jungkook membulatkan mata sebelum benar-benar menghapus air matanya. Ia jelas tertohok, bibirnya kian bergetar. "Ra..." "Anak kita sudah tiada, Jungkook. Lalu bagaimana kau memperbaikinya?" T...