Aku harusnya mati hari ini.
Iya, rencanaku satu-satunya yang akan aku lakukan sekarang harusnya mati hari ini. Dari beberapa bulan lalu, aku telah menandai tanggal di kalender ponsel bahwa aku akan mati hari ini. Harusnya—aku gak berharap lebih soal ini, sih—saat ini aku sudah ditemukan orang di rumah dalam kondisi tak bernyawa di kamar, karena aku mati hari ini.
Tapi gak jadi, soalnya aku gajian hari ini.
Tanpa sadar juga aku telah perpanjang kontrak setelah berstatus probation selama tiga bulan. Aku baru kali ini menerima gaji pertama secara penuh, berkat penilaian performa kerja yang dianggap cukup baik dari atasanku.
Namanya Ianuarius Sabit. Laki-laki berusia 30 tahun, seorang executive chef yang tantrumnya melebihi anak kecil. Bahkan aku sendiri tak sanggup menghadapi jika ia mulai berbicara frontal secara fasih. Dia dijuluki "Pria Tantrum" oleh seluruh staf.
Namun aku mengakui kalau kepribadian aslinya memang sangat baik, bahkan melebihi ekspektasiku yang menilai, bahwa hampir semua laki-laki yang berasal dari kota ini didominasi sifat buruk; brengsek, tukang selingkuh, matre, mengeyel dan egois.
Ngomongin kontrak kerja, aku baru tanda tangan lagi kemarin pagi melalui aplikasi digital. Aku cukup menyiapkan telunjukku di atas layar ponsel untuk menandatangani tiga lembar surat kontrak dengan jangka waktu selama tiga bulan kedepan.
Jaman udah berubah, dulu saat mendapat pekerjaan untuk pertama kalinya, aku hanya punya pengalaman membubuhkan tinta di atas kertas bermaterai. Itupun aku harus teliti membacanya sampai berkali-kali, karena takut ada yang keliru dengan isi perjanjian berlandaskan kekuatan hukum.
Sekarang aku tertawa dalam batin, sebab gak menyadari bahwa harapanku untuk hidup rupanya masih ada.
Kalau bukan karena perpanjangan kontrak kerja, seharusnya hari ini aku tidak memaksakan diri berkendara sejauh 20 kilometer menuju tempat kerja yang sudah dibilang bukan baru lagi. Aku resmi melepas status on job training yang di mana setiap hari kemarin selalu dilempar sana-sini oleh atasanku supaya cepat belajar.
Sesampainya di sana, aku disambut sebegitu hangat oleh teman-teman yang berada dalam posisi setara, sama-sama butuh uang. Tugasku di sini bisa dibilang remeh, bahkan cenderung diabaikan.
Namun siapa sangka, jika tanpa kehadiranku untuk menjalani tugas sesuai kontrak, mereka akan kebingungan mencari-cariku bahkan sampai ke tempat terpencil sekalipun.
Itulah kenapa aku pengen mati saja, karena dengan begitu mereka gak akan mencariku lagi. Paling rekrut orang baru.
Yah, begitulah cara korporat ini bekerja dan menetapi aturan, soal urusan memelihara sumber daya manusia yang kuanggap masih layak, tapi juga tidak layak untuk dibandingkan. Sebab memang tak ada layak-layaknya restoran ini mempekerjakan staf dengan cara yang tidak adil.
Hampir kelupaan, saat ini aku bekerja di sebuah restoran terkenal bernama Asianfave Resto. Berkonsep fine dining, restoran ini terhubung secara langsung dengan gedung hotel Lavienrose berbintang lima.
Masih satu manajemen dan hanya beda kepemilikan, tapi aku tak tahu dari sisi mana yang bisa dibanggakan dari restoran dengan angka rating 4,7 di mesin pencarian. Aku sendiri belum pernah mencicipi satupun menu hidangan yang disajikan selama bekerja di sini.
Ketika fajar tiba, sebagian besar pengunjung resto adalah para penghuni Lavienrose yang datang hanya untuk menikmati breakfast menu, yang merupakan salah satu bagian dari fasilitas hotel.
Lalu di siang hari, pengunjung yang datang kebanyakan berasal dari pegawai swasta yang berkantor di sekitaran gedung hotel. Di sini terkenal akan menu paket atau set yang dijual dengan harga menengah. Lengkap dari menu pembuka, menu utama, menu pendamping sampai menu penutup.
Malam harinya, giliran kaum urban yang tinggal di Ibukota juga datang ke sini. Pasangan muda-mudi romantis, grup anak tongkrongan gaul abis dan keluarga harmonis.
Menariknya setiap kali aku masuk sif malam, staf-staf di kitchen selalu kelimpungan ketika menerima permintaan khusus. Seperti kue ulang tahun, kue perayaan, buket bunga, atau yang paling membuat semuanya iri adalah cincin lamaran yang diselipkan pada salah satu makanan. Mendadak para staf perempuan jadi iri dan pengin dinikahin malam itu juga.
"Piring-piring sif pagi belum ke-handle, kamu bisa urus sekarang, kan?"
Kampret. Belum juga setengah jam aku tiba, belum sempat melakukan pemanasan, belum sempat mengusir hawa gerah usai menerjang panasnya jalanan yang selalu macet gila-gilaan, belum juga mengisi kehadiran dengan merekam absensi fingerprint yang terpajang apik persis di sebelah pintu office. Tiba-tiba Sabit meminta bantuan untuk ke area sebelum jam sif siangku dimulai.
Kedatanganku memang terlalu cepat dua jam sebelumnya, sih. Itu juga karena aku ingin mampir ke ATM dan mengambil seluruh uang gajian lebih dulu. Malam ini, sepulang kerja nanti aku berencana menemui sepupuku melunasi utang cicilan.
Laki-laki yang mengenakan pakaian serba putih itu tengah duduk menatapi layar komputer, sepertinya ia masuk sif pagi. Tampak bulir-bulir keringat yang menetes di sekitaran pelipis, pertanda kalau ia baru selesai mengecek area. Tergeletak sembarang di meja satu pelindung kepala khas chef yang dianggap amat sakral.
"Yang lain emang kemana, Chef?" tanyaku. Aku memanggilnya Chef karena ikut-ikutan teman, atau bisa jadi memang peraturan dasar yang harus dipatuhi.
"Kan Wahyu resign, jadi pagi ini kosong. Saya sebetulnya gak enak mau minta tolong kamu masuk pagi,"
Untunglah dia bilang begitu, nuraninya masih tersisa sedikit ternyata. Karena barusan hampir saja aku berniat mengumpatnya lagi dalam hati.
"Refil sabun juga udah ada di gudang, barangnya tadi pagi udah diantar supplier ke sini. Kemarin kamu keluhin itu kan, Rid?"
"Dihitung lembur gak, Chef?" ujarku malah bertanya hal yang lain. Sikap realistis yang aku anut memang selalu kutanamkan dalam diri sejak awal merintis karir. Supaya gak mudah goyah menyerah bila kenyataan tak sesuai keinginan. Daripada aku berimajinasi rela kerja di luar jadwal tapi akhirnya tak dapat apa-apa. Aku lelah selalu jadi korban loyalitas di sini.
See? Selalu jadi korban, it means, in a few times aku sudah terperangkap lebih dulu.
Sabit menimbang-nimbang pertanyaanku dengan bola matanya yang menatap langit plafon. Kemudian dijawab gamang, "Hmm, lihat nanti, ya. Biasanya sih dibayar. Kamu coba ajuin approval dulu aja, biar saya tanyain ke HR-nya."
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Tanpa membantah perintah, aku segera bergegas menuju ruang ganti untuk mengubah jaket abu-abuku menjadi seragam putih yang senada dengan atasanku. Tidak ketinggalan gaya rambutku yang tergulung cepol untuk menampilkan kesan rapi dan bersih.
Begitu aku keluar dari ruang ganti, persis sekali di depan mata ada seorang pria yang memberi tahu kondisi area dapur yang berantakan terutama di bagian wastafel. Piring-piring penuh noda bertumpuk asal menjunjung tinggi bagai puncak gunung rinjani. Menanti kedatangan sang ahli untuk segera diberesi.
Dan aku harus kerja sekarang. Persetan dengan rencana mati. Aku dihimpit waktu selama satu jam harus membersihkan piring-piring kotor ini. Sebelum jam kerjaku dimulai secara resmi pukul 2 siang nanti.
***
Halo readers!
Welcome di cerita baruku lagi, jangan lupa masukin ke library/reading list, yaa.Visual terserah kalian. Karena aku hanya reveal visualnya di akun X aja hehe. (Yah, dilihat dari karya-karya sebelumnya aja pasti udah paham siapa muse-nya). Kalau kalian nemu sosok yang paling cocok dengan karakter di cerita nanti, bisikin ke aku, ya. Biar kita bisa seru-seruan bareng!
Jangan lupa tinggalin jejak, kawan. (Maksudnya vote, komen, share juga boleh). Akun rintisan ini butuh penyemangat biar makin rajin update✨
Please support me and thank you!
Follow me now!
Wattpad, IG, KK & TikTok: whatevernollae
Twitter: whtvrnll
KAMU SEDANG MEMBACA
Traces of Missing Plates
General FictionPiring-piring antik milik Asianfave Resto tiba-tiba hilang dalam lemari berfasilitas keamanan tinggi. Nuridana Dilla, seorang dishwasher yang berkeinginan mati dituntut ganti rugi karena dituduh mencuri tanpa bukti. Merasa tidak bersalah, Rida bersa...