Bab 34

939 143 15
                                    


"Halo Ar." Ardan tampak sumringah pagi-pagi sekali sahabatnya Ardi sudah menghubungi dirinya.

"Halo juga Ar. Aku masih saja merasa geli ketika kita sama-sama memanggil Ar."

Kekehan Ardi diseberang sana terdengar hingga membuat Ardan ikut terkekeh. "Rasanya seperti anak kembar." Lanjutnya disambut tawa oleh keduanya.

Ardi dan Ardan sudah bersahabat sejak kecil bahkan dulu mereka sempat dikira saudara kembar selain nama mereka yang hampir sama perawakan mereka juga sangat mirip bahkan jika diperhatikan lebih seksama garis wajah keduanya juga sangat menyerupai satu sama lain.

Persahabatan yang mereka bangun sejak kecil itu ternyata berlanjut sampai mereka setua sekarang. Ardi sangat menyayangi Ardan begitupula sebaliknya.

"Jadi ada kabar baik apa yang harus aku dengar hari ini?" Ardan bertanya sambil menyesap kopi miliknya. Pria itu masih berada dirumahnya ketika Ardi menelponnya. Sementara Farah tampak sibuk menyuapi putrinya tanpa menganggu percakapan suaminya sama sekali.

"Aku hanya ingin mengabari jika akhir bulan aku dan Kinan akan datang kerumahmu untuk melamar putri kesayanganku."

Eskpresi wajah Ardan sempat berubah sekilas namun detik berikutnya pria itu kembali menormalkan ekspresinya. "Ternyata Ali benar-benar sudah tidak sabar ya?" Candanya berusaha senang padahal tenggorokannya sudah terasa kering. Ardan kembali menyesap kopinya dengan ponsel masih menempel ditelinga kanannya.

"Ali memang udah secinta mati itu sama Prilly-ku."

Suara tawa Ardi justru bak belati yang menusuk jantung Ardan. Ia merasa iri tepatnya cemburu karena Ardi lebih bisa membangun hubungan baik dengan putrinya ketimbang dirinya sendiri.

"Prilly juga cinta mati sama kamu Ar." Suara Ardan terdengar begitu lirih dan pedih hingga membuat Farah menoleh menatap suaminya yang termenung menatap cangkir kopi didepannya. Ia bisa melihat luka di mata suaminya namun Farah memilih diam.

"Ar, aku tidak bermaksud menggurui mu tetapi sebagai sahabat aku hanya ingin kamu sedikit menurunkan egomu, mau sampai kapan kamu bersikap asing dengan putrimu sendiri Ar?"

"Aku hanya tidak terbiasa."

"Maka cobalah membiasakan diri. Yang terjadi dimasa lalu biarlah berlalu lagipula kita sama-sama tahu bagaimana kondisi Prilly saat itu. Ar, kamu harus ingat satu hal usia kita tidak bertambah muda melainkan bertambah tua kita tidak tahu kapan kematian akan datang menjemput kita." Terdengar helaan nafas panjang dari Ardi diseberang telepon begitupula dengan Ardan yang juga terdengar menghembuskan nafas panjangnya.

"Cobalah untuk berbaikan dengan Prilly jangan sampai kamu menyesal Ar. Aku hanya bisa menasehati mu sebagai teman selebihnya semua keputusan ada ditangan mu."

Sampai panggilan terputus Ardan masih termenung dengan setiap perkataan Ardi terus berputar di kepalanya.

***

Prilly baru saja keluar dari ruangannya ketika Satria datang dan menarik tangannya. Prilly terkejut tentu saja namun ketika ia mengetahui jika yang menarik lengannya adalah Satria ia memilih diam.

Sepanjang lorong mereka berjalan tampak para mahasiswa dan mahasiswi menaruh perhatian pada mereka namun tidak seorang pun dari mereka yang berani mengeluarkan suara, pasalnya mereka tahu siapa Prilly dan pemuda yang menggenggam tangannya itu.

"Kita mau kemana Sat?" Tanya Prilly begitu mereka tiba di parkiran.

Satria menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Prilly. "Gue nggak tau apakah infomasi ini benar atau tidak seperti yang terakhir kalinya tapi gue dapat kabar kalau Bang Ali lagi sama Kanaya." Prilly jelas terkejut dengan kabar yang ia dapat namun ia berusaha untuk tetap tenang.

"Ya sudah ayok kita lihat!" Prilly berjalan menuju mobil Satria meninggalkan Satria yang hanya bisa menghela nafas lelah.

Ia tidak bermaksud menyakiti Prilly dengan kabar yang ia dapatkan tetapi ia harus membawa Prilly kesana untuk memastikan apakah kabar itu benar atau tidak.

"Cepat Satria!" Teriak Prilly dari samping mobilnya.

"Iya iya."

Jarak antara kampus Prilly dengan kampus Ali lumayan jauh sehingga mereka memilih untuk menaiki mobil Satria. Prilly tidak bersuara sama sekali sepanjang perjalanan gadis itu tampak terdiam sambil mengigit kukunya.

Satria juga demikian, jujur saja ia merasa sangat deg-degan sekarang ini. Ia takut bukan hanya dirinya yang kehilangan Kanaya tetapi juga Ali yang mungkin kehilangan Prilly.

"Tapi gue yakin mereka nggak ada hubungan apa-apa." Satria berusaha mencairkan suasana.

"Ada hubungan pun gue nggak perduli!" Jawab Prilly cuek berbanding terbalik dengan dadanya yang mulai terasa nyeri. "Tapi masak iya gue kalah sama si Kanaya itu!" Akhirnya lengkingan suara cempreng Prilly terdengar memenuhi seantero mobil Satria bahkan telinga Satria sampai pengang karena suara gadis itu.

"Woi! Sabar woi! Bisa budek nih kuping gue!"

"Bodo amat!"

Satria menghela nafasnya tak sampai 10 menit mereka sudah tiba di parkiran kampus Ali. "Lihat itu mobilnya Bang Ali." Satria menunjuk kearah Pajero hitam didepan mobilnya.

Prilly semakin resah ia sempat berharap jika Ali sudah meninggalkan kampus sehingga apa yang dikatakan Satria jelas tidak bisa dibuktikan namun harapannya sia-sia ia justru semakin yakin jika informasi yang Satria dapatkan benar adanya.

"Ayok masuk!" Satria sudah berada disebelahnya dan Prilly sama sekali tidak sadar kapan Satria turun dan membuka pintu mobil untuknya. Prilly meraih tangan Satria, disaat seperti ini mereka tampak saling mengasihi satu sama lain.

Keduanya berjalan memasuki area gedung fakultas Ali. Suasana agak sepi padahal hampir memasuki jam makan siang. "Kalau Bang Ali beneran sama Kanaya apa gue jambak aja mereka?" Tanya Prilly dengan segala kebar-barannya.

Satria menoleh menatap Prilly sejenak lalu kembali fokus berjalan tanpa melepaskan tangan Prilly. "Abang Ali aja lo jambak Kanaya gue jangan." Katanya yang sontak membuat Prilly memukul punggungnya.

Keduanya berjalan menuju area aula karena menurut informasi yang Satria dapatkan, Ali dan Kanaya ada disana. "Kalau mereka nggak ngelakuin sesuatu ngapain mereka ke area sepi begini?" Kembali Prilly bersuara dan Satria hanya diam karena ia tidak tahu harus menjawab apa.

Tak berapa lama mereka tiba di area aula dan benar saja disudut ruangan dekat pintu aula terlihat Ali bersama Kanaya sedang duduk berdampingan bahkan kepala mereka nyaris berbenturan dengan mata sama-sama fokus pada kertas yang dipegang oleh Kanaya.

"Woi!" Suara teriakan Prilly terdengar kencang bersamaan dengan langkah kaki kecilnya berlari menuju Ali dan Kanaya.

Satria juga melakukan hal yang sama.

Ali dan Kanaya tampak terkejut mereka bahkan belum sempat mengatakan apapun Prilly dan Kanaya sudah terlebih dahulu menarik tangan mereka. "Lo ngapain sama cowok gue hah?!"

"Sayang tenang dulu ini enggak seperti yang kamu pikirkan." Ali berusaha menenangkan kekasihnya.

Sementara Satria juga ikut 'menyerang' Kanaya yang masih shock dengan kejadian tiba-tiba ini. "Nay aku tahu Bang Ali lebih ganteng tapi aku juga nggak kalah ganteng Nay! Ngapain sih kamu dekatin Bang Ali yang jelas-jelas kamu tahu kalau pawangnya galak!" Cerocos Satria pada Kanaya yang masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Sini lo perempuan! Berani banget lo dekatin cowok gue!" Prilly masih berusaha melepaskan diri dari pegangan Ali, ia ingin menjambak Kanaya yang ia duga merebut kekasihnya.

"Sayang tenang dulu!"

"Semuanya tenang oke!"

Suara keras Kanaya sedikit meredakan suasana, helaan nafas berat gadis itu terdengar matanya tampak beralih menatap Ali yang juga sedang menatap dirinya dan hal itu kembali memancing emosi Prilly.

"Sialan! Masih berani kalian tatap-tatapan didepan gue hah?! Memang brengsek elo berdua!" Maki Prilly sebelum menghempaskan tangan Ali yang terus memegang tangannya.

*****

My Lovely HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang