🍩🍩🍩
Tak perlu memaksakan kehendak. Terlebih, itu bisa membahayakan dirinya. Kita hanya perlu perlahan untuk memulihkan semuanya. Karena, semua akan indah pada waktunya.
🍩🍩🍩
"Isinya sepatu, sepertinya beneran pesanannya Divy. Jadi, nggak usah khawatir." Radeya tersenyum, hatinya merasa lega ternyata bukan teror lagi.
Juga, diam-diam merasa lega karena barang yang dibeli sudah sampai. Yang datang bukan berisi teror.
"Sini paket sepatunya. Biar, gue simpan ke kamar." Divya merebut kotak paket berisi sepatu miliknya. Dengan pasrah, Radeya menyerahkan barang itu pada Divya. Tahu, tidak akan membahayakan gadis yang ada di depannya itu.
"Syukurlah kalo isinya nggak aneh-aneh." Bik Mirna tak jauh berbeda dengan Radeya maupun Divya. Wanita paruh baya itu merasa lega.
Divya membawa kotak paket itu menuju kamarnya. Setelah itu, ia kembali turun menghampiri Radeya yang masih duduk anteng di ruang makan. Kemudian, Divya duduk pada tempatnya lagi.
Lima menit kemudian, Wirawan sudah sampai di rumah. Lelaki paruh baya itu menghampiri Divya serta Radeya sebelum memutuskan melangkah menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
"Papa mandi dulu, ya. Maaf... Kalo harus nunggu lebih lama lagi." Wirawan mengatakan hal itu, karena merasa tak enak kepada Divya -- anaknya dan Radeya.
Radeya tersenyum ke arah Wirawan, "Nggak apa-apa, kok."
"Jangan lama-lama, Pah. Kebiasaan banget, kalo pulang suka telat. Jadi, makan malam juga kemalaman." Divya sudah hafal dengan apa yang sering dilakukan oleh Wirawan. Papanya. "Buruan, Pah. Aku malas harus nunggu lebih lama."
Divya mengatakan hal itu, sebenarnya karena malas berlama-lama harus bertatap muka dengan Radeya. Bagaimana tidak, sosok Radeya seperti selalu memperhatikan secara lekat. Itu cukup membuat Divya tak nyaman. Terlebih, tatapan Radeya terlihat sangat dalam. Sehingga, membuat Divya berpikir negatif mengenai Radeya.
Radeya memang selalu berusaha memberikan senyum kepada Divya. Apalagi, saat sedang bersama dan satu tempat dengan gadis teman masa kecilnya itu. Rasanya, ia ingin selalu menatap lekat tak mau berpaling. Mungkin, seperti tak mau kehilangan sosok Divya.
Radeya seperti ingin mengulang waktu kebersamaannya dengan Divya di masa lalu. Meskipun, itu tidak mungkin terjadi. Karena, waktu tidak bisa diulang. Masa lalu hanya bisa dikenang. Dan, sekarang Divya tidak bisa mengingat hal itu.
Akan tetapi, sekarang Radeya bila dari tatapan Divya. Gadis itu tak nyaman dengan kehadirannya. Hanya saja, ia memang selalu di sekitar Divya. Ingin selalu menjaga Divya sebisanya. Terlebih, ia tahu yang sedang dialami gadis itu.
Kini, Radeya maupun Divya sama-sama terdiam. Tidak ada obrolan diantara mereka selama menunggu kehadiran Wirawan. Papa Divya.
Namun, Radeya tetap diam-diam memperhatikan gerak-gerik Divya. Sepertinya, gadis itu sekarang sedang sibuk melihat ponsel. Radeya pikir, mungkin Divya bermain media sosialnya.
Beberapa menit kemudian, Wirawan akhirnya datang untuk mengikuti makan malam bersama.
"Ayo ... Kita mulai makan malamnya. Maaf... Papa bikin telat makan barengnya." Wirawan memulai pembicaraan dengan Radeya dan Divya.
Radeya tersenyum, tak mempermasalahkan sedari tadi sudah menunggu cukup lama Wirawan. Lagipula, sekarang menunjukan pukul setengah delapan malam. Jadi, tidak terlalu terlambat melakukan makan malam bersama di rumah itu. "Nggak apa-apa, Om. Saya tahu Om sibuk di kantor. Apalagi, pekerjaan Om pasti banyak banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Your Fault [SELESAI]
Ficção Adolescente"Jika hidup di dunia ini penuh rintangan serta berliku. Maka, kamu hadir seperti pelangi yang diciptakan untuk memberi warna setelah hujan." Sebuah musibah terjadi karena adanya takdir. Tak perlu menyalahkan diri sendiri. Karena, itu bisa saja membu...