🍩🍩🍩
Tidak masalah, bila ada jarak diantara kita. Yang terpenting, kamu masih dalam jangkauan pandangku. Itu cukup bagiku, untuk bisa melihat, memperhatikan, serta menjagamu. Karena, aku akan selalu berada di sekitarmu.
🍩🍩🍩
"Div, nggak boleh berpikiran ke Radeya. Karena--" Perkataan Wirawan terhenti, menyadari kode dari Radeya. Radeya tak ingin bila identitasnya diketahui Divya dalam waktu dekat. Ia tak mau kondisi Divya memburuk, bila mengingat semuanya.
Radeya ingin Divya mengingat semua hal di masa lalu secara perlahan. Agar, tidak membahayakan kondisi tubuh Divya.
"Kenapa jadi diam, Pah?" Divya merasa ada yang aneh di sana.
Wirawan tersenyum, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Karena udah malam, mending kita istirahat aja. Tadi, mau ngomong itu ke kamu."
Radeya bernapas lega, mendengar perkataan Wirawan yang sepertinya bisa memberi alasan kepada Divya.
"Padahal, Divya masih mau ngobrol sama Papa. Tapi, kayaknya Papa udah capek butuh istirahat." Divya berusaha memahami situasi. Paham mungkin memang Papanya sudah lelah bekerja seharian penuh.
"Oh ya... Besok Radeya sudah bisa bersekolah. Radeya akan satu sekolah dengan kamu sayang." Wirawan tersenyum, sembari menatap Divya. Memberitahukan, bila Radeya akan bersekolah bersama Divya. "Dan, mulai sekarang Radeya, tolong panggil saya Om aja jangan Pak. Itu lebih enak didengar."
"Baik, Pak. Eh... Om, maksudnya." Radeya menuruti permintaan Wirawan.
Divya hanya bisa menghela napas, sudah bisa menebak hal itu terjadi. Karena, sangat terlihat jelas bila Wirawan pasti akan menghalalkan cara untuk membuat Radeya dekat dengannya. Terlebih, Wirawan memang sudah memberi tugas Radeya untuk menjaga Divya.
"Terserah Papa aja deh. Divya malas berdebat, ujung-ujungnya juga nggak bakalan Papa dengerin." Divya bangkit dari duduknya, lalu melangkah berjalan menuju kamar miliknya.
Di ruang tamu, sekarang tersisa Wirawan dengan Radeya. Sejujurnya, Radeya merasa tak enak dengan perlakuan Wirawan kepadanya yang terkesan sangat mengistimewakan dirinya. Itu bisa saja, membuat Divya curiga. Namun, ia sadar lambat laun pasti gadis teman masa kecilnya akan mengingat semuanya.
"Maaf... Tadi Om hampir keceplosan bilang siapa kamu sebenarnya, De." Wirawan merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Om. Justru, saya yang harus minta maaf. Saya cuma nggak mau kalo kondisi Divya memburuk. Apalagi, kata Om waktu Divya sempet pusing pas ingat kecelakaan itu. Jadi, saya nggak mau Divya ngerasa hal itu lagi. Biarin, dia ingat dengan sendirinya. Walaupun, itu hanya kemungkinan kecil. Namun, saya percaya akan ada keajaiban. Ditambah, kata dokter ingatan Divya hanya hilang sebagian dan sementara." Radeya mengatakan kekhawatirannya atas kondisi Divya. Tak mau gadis yang disayanginya kesakitan dan menderita saat teringat kejadian buruk yang menimpanya.
"Iya. Om berharap seiring berjalannya waktu Divya bisa mengingat semuanya. Makasih udah selalu pengertian, dan tidak menyalahkan Divya atas hal yang telah berlalu." Wirawan bersyukur, Radeya benar-benar mempunyai hati yang lapang. Sehingga, bisa bangkit menjalani hidup selayaknya.
Radeya tersenyum, sedari awal tak pernah menyalahkan siapapun atas kejadian di masa lalu. Ia percaya, semua sudah takdir yang tak bisa dihindari. Meskipun, cukup menyakitkan tapi waktu tidak bisa diputar kembali. Sehingga, ia harus bisa tetap menjalani hidup menuju masa depan. "Iya sama-sama, Om. Tolong... Jangan merasa bersalah. Saya udah ikhlas dengan kondisi yang ada. Untuk sekarang, kita fokus jagain Divya biar bisa kembali pulih kayak dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Your Fault [SELESAI]
Fiksi Remaja"Jika hidup di dunia ini penuh rintangan serta berliku. Maka, kamu hadir seperti pelangi yang diciptakan untuk memberi warna setelah hujan." Sebuah musibah terjadi karena adanya takdir. Tak perlu menyalahkan diri sendiri. Karena, itu bisa saja membu...