PROLOG

1.6K 96 59
                                    

Bandung, di awal tahun 2000an

Pria itu tampak panik ketika berlari dari parkiran. Mengabaikan anak dan istrinya di belakang. Dia bahkan mengacuhkan ketika istrinya menyarankan mereka untuk tenang.

"Sus, apa ada korban kecelakaan atas nama Darmawan disini?" Pak Ardiwilaga tampak frustasi saat dia menunggu perawat itu mengecheck data di layar itu.

"Darmawan, 3 orang, Tabrakan beruntun di tol?" Perawat itu sekali lagi memastikan.

"Iya, yang itu."

"Sherina!" Suara Sadam terdengar lega sekaligus khawatir ketika dia melihat wajah itu terbaring diatas salah satu brankar di IGD itu.

Pak Ardiwilaga menoleh dan mendapati putra tunggalnya beserta istrinya sudah berlari menuju sebuah tempat tidur yang ada disitu. Membuatnya segera mengejar mereka.

**********

Bandung, 2007

Gadis itu tersenyum saat melihat kedua nama yang terukir di sebuah batu nisan itu.

"Hai, Ayah, Bu." Sherina meletakkan rangkaian bunga yang dia bawa diantara kedua gundukan yang tertutup rumput segar itu. Gadis itu lantas duduk di samping makam tersebut. "Gimana kabar ayah sama ibu disana? Maaf ya, Sher baru bisa kesini sekarang. Pengennya sih kesini kemarin, tapi Sadam sama mami papinya tiba-tiba ngadain surprise party buat aku. Oiya, kemarin Sherina ulang tahun yang ke 17 tahun loh. Sher udah punya KTP. Ayah sama ibu mau liat?" Katanya sambil mengeluarkan sebuah kartu kecil dari dompetnya. "Tapi fotonya jelek. Gara-gara Sadam ini." Katanya menggerutu setelah menunjukkan kartu pengenalnya ke nisan kedua orang tuanya. "Oiya, kata ibu sama ayah dulu Sherina baru boleh suka sama lawan jenis pas umur 17 ini kan? Berarti udah boleh donk Sherina cerita sekarang? Gimana ya mulainya. Sebenernya Sherina udah suka sama dia dari lama sih, Bu. Tapi..."

**********

Lembang, 2012

"SHERINA MELODY DARMAWAN!" Sadam menatap tak terima ketika dia menerobos masuk.

"Bisa nggak sih kalau masuk kamar orang tuh ketuk pintu dulu?" Sherina menatap tak setuju karena terkejut.

"Gila kamu. Inggris tuh jauh loh"

"Ya terus?" Gadis itu kembali berkutat dengan kopernya. Menata apapun yang diperlukannya.

"Ya, ya kamu nggak bisa donk mutusin sesuatu sepenting ini secara mendadak. Tanpa diskusi sama aku pula." Sadam berkacak pinggang ketika dia menghampiri sahabatnya itu. Ketika beberapa saat kemudian Sherina tak meresponnya, Sadam menahan tangan gadis itu. "Sher. Kenapa harus di Inggris sih?"

Sherina tersenyum lembut sambil merapikan rambut Sadam. Ya Tuhan, harus berapa kali Sherina mengingatkan sahabatnya itu untuk selalu menata rambutnya dengan benar. "Daam, ini nggak mendadak koq. Papi mami kamu udah tau dari lama soal ini."

"Aku?" Sadam tampak sengit ketika dia mendebat.

"Ya karena aku tau respon kamu bakalan kayak gini."

"Sher.." Sadam sekali lagi menahan Sherina ketika gadis itu hendak kembali ke kopernya. "Kenapa harus Inggris sih? Lagipula kita kan juga udah lulus kuliah."

"Dam. Kamu tau kan cita-cita aku?"

"Ya, tapi, Tapi kenapa harus Inggris sih, Sher? Kalaupun nggak di Bandung, di kota lain kan banyak sekolah kedokteran yang bagus. Nggak harus sejauh itu."

"Harus, Dam. Harus disana."

FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang