19

881 53 1.1K
                                    

"Sayaang." Sadam terdengar putus asa ketika dia berbicara di balik pintu. "Please, buka pintunya doong. Dengerin dulu penjelasan aku."

"Nggak perlu!" Sherina menjawab gusar sekedar menutupi suaranya yang terdengar serak. "Kalau mau pergi ya udah pergi aja! Kalau perlu nggak usah balik kesini lagi. Biar aku sama anak-anak bertiga disini. Kita nggak butuh kamu!" Katanya menghapus air mata sialan yang tak juga mau berhenti sejak ia masuk kamar.

"Kok gitu ngomongnya? Buka dulu ya pintunya?" Sadam masih berusaha membujuk dengan sabar.

Hening, tak ada jawaban. Tapi samar-samar suara isak tangis dari balik pintu itu membuat Sadam semakin merasa bersalah. Tahu bahwa memaksa Sherina untuk mendengarkannya saat ini adalah sesuatu yang sia-sia, pria itu menghela nafas kemudian duduk sambil menopang lengannya diatas lutut.

Sadam tahu tidak seharusnya dia pergi saat istrinya sudah semakin mendekati hari persalinannya. Tapi Sadam harus melakukannya karena ini juga menyangkut masa depan mereka dan anak-anak.

Setelah beberapa kali melakukan rapat online, investor baru itu akhirnya meminta bertemu langsung di Indonesia. Dan itu harus dengan Sadam atau investasi mereka batal.

Sadam bisa saja bersikap egois dan mengabaikan permintaan tersebut. Toh, kehilangan satu investor tidak akan terlalu berimbas pada kelangsungan perusahaannya.

Tapi tidak. Sadam bukanlah pebisnis egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada ratusan karyawan dan pekerja di perusahaan dan perkebunan Lembang yang bergantung padanya. Dan kehilangan salah satu investor saja sudah pasti akan berimbas buruk pada image perusahaannya di masa depan. Dan itu sama saja Sadam mengorbankan masa depan para pekerjanya tersebut.

Lalu bagaimana dengan masa depannya sendiri?

Saat tinggal sedikit lagi mendapatkan kembali kepercayaan istrinya, Sadam terpaksa harus memilih. Dan dengan terpaksa dia harus memilih pekerjanya. Oh tentu Saja Sadam juga memilih Sherinanya. Perempuan itu akan selalu berada di daftar teratas prioritasnya. Tapi nanti, nanti setelah urusannya selesai Sadam akan kembali membujuk istrinya itu.

Ya Tuhan, benarkah ia baru saja menyia-nyiakan kesempatannya yang tinggal selangkah lagi?

**********

Dengan ransel di pundak, Sadam kembali mengetuk pintu kamar istrinya. "Sayang, aku berangkat ya?" Tak ada jawaban dari dalam. "Kamu sama anak-anak baik-baik ya sampai aku balik?" Tetap hening. "I love you, Sher." Bisik Sadam sebelum akhirnya menyerah.

Di ujung tangga dia melihat Grace sedang tersenyum prihatin menatapnya. Membuat Sadam mau tak mau membalas lemah senyum itu sambil menapaki anak tangga satu persatu.

"Maaf merepotkanmu. Tapi dia.."

"Pergilah." Grace tersenyum lembut. "Selesaikan urusanmu dan cepat kembali. Aku pasti bisa menanganinya selama kau pergi."

"Kau yakin?"

"Kau meragukanku?"

Sadam tertawa pelan menanggapi. "Maaf aku tak bermaksud begitu. Ah, untuk sarapannya.."

"Oh, hentikan." Grace memutar tubuh Sadam memaksa pria itu berjalan sampai pintu. "Istri dan anak-anakmu akan tetap makan dengan teratur selama kau tidak disini. Sekarang cepat pergi sebelum aku mengusirmu dari rumahmu sendiri." Perempuan bermata almond itu membukakan pintu untuk Sadam membuat pria itu sekali lagi tersenyum.

"Katakan padanya aku akan kembali secepatnya." Kata Sadam membuat Grace bersedekap memperingatkannya. "Ah satu lagi.."

Perempuan itu memutar bola matanya jengah. "Jika kau terus seperti ini kau bisa ketinggalan pesawatmu, Tuan. Atau jangan-jangan kau memang berniat begitu?"

FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang