1

1K 75 93
                                    

Cambridge, 2022

"Kau yakin?" Grace Williams berbicara dengan bahasa Inggrisnya yang lancar. Oh percayalah, aksen British gadis keturunan Irlandia itu merupakan salah satu daya tariknya. Grace bahkan bisa dengan mudah mendapatkan pria manapun yang dia inginkan hanya dengan mengatakan 'hallo'.

Sherina tersenyum menatap sahabatnya itu. 10 tahun dan Grace tetaplah gadis yang sama seperti yang dia temui di hari pertama mereka di Cambridge university. "Tidak pernah seyakin ini." Sherina membalasnya sambil sibuk menata kopernya.

Grace mendengus kesal sambil melangkah ke arah tempat tidur Sherina. "Kau baru saja mengantongi ijin praktikmu dan kau bahkan bisa memilih untuk bekerja di rumah sakit manapun yang kau inginkan disini." Perempuan berambut pirang itu tahu bahwa ini semua sia-sia tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?

"Grace.." Sherina memperingatkan dengan jenaka.

"Oh baiklah. Kau dan cinta pertama sialan itu." Grace mengacuhkan ketika Sherina menoleh cepat mencoba membujuknya. "Aku kesini hanya karena mama memaksaku untuk memastikan bahwa kau tidak lupa dengan acara makan malam perpisahan kita."

"Grace, sungguh. Kalian tidak perlu melakukannya."

"Yeah, aku tahu. Tapi kau juga pasti paham bagaimana menyebalkannya perempuan tua itu saat tidak mendapatkan keinginannya bukan?" Grace berceloteh sambil mendorong Sherina ke kamar mandi. "Jadi sebaiknya sekarang juga bersihkan dirimu dan segera bersiap sebelum Mrs. Williams yang terhormat itu mengomeliku."

Dan setelah 1 jam bersiap, disinilah Sherina sekarang. Di kediaman mewah milik The Williams. Rumah Grace. Menikmati ayam panggang dan puding yorkshire buatan Mrs. Williams adalah salah satu hal terbaik yang didapatkan Sherina selama dia jauh dari Keluarga Ardiwilaga.

Ah, betapa dia tiba-tiba sangat merindukan mereka semua. Donat kentang buatan maminya Sadam, pelukan hangat Pak Ardiwilaga,dan tentu saja Sherina paling merindukan Sadam. Oh tentu saja mereka rutin mengunjunginya selama ini.

Bahkan kedua orang tua Sadam itu menyisihkan waktu mereka hanya untuk menemani Sherina pindah ke asrama barunya saat dia baru saja menjadi dokter muda. Sadam? Pria sialan itu terlalu sibuk hingga kedatangannya bahkan bisa dihitung dengan jari.

"Kau sungguh yakin?"

"Arthur, hentikan." Mrs. Williams menegur suaminya ketika dia kembali dengan sebotol anggur di tangannya.

"Aku hanya memastikan, Darling."

"Aku bahkan sudah meyakinkannya sejak sebulan yang lalu, Papa." Grace menyesap wine ditangannya. Gadis itu mencoba menatap sinis sahabatnya dan gagal. Oh, Dia tidak akan bisa berlaku jahat pada gadis Indonesia yang manis ini.

"Maafkan mereka, Sherina." Elizabeth Williams mencoba menetralkan. "Mereka hanya tidak ingin kehilangan dirimu, Sayang." Katanya dengan logat Inggrisnya yang indah.

"Aku hanya mencoba berinvestasi pada rumah sakitku." Mr. Williams berkelakar. "Dan Sherina adalah salah satunya." Katanya mendapat protes tak terima dari istri dan anaknya. "Maksudku, siapa yang tidak menginginkan dokter secakap dia. Dan fakta bahwa dia adalah sahabat Grace ku tersayang benar-benar membuatku sangat besyukur."

Sherina hanya tertawa kecil melihat pertengkaran ringan diantara mereka. Pertengkaran yang justru menghangatkan hubungan keluarga itu. Pertengkaran hangat yang sudah tidak dia miliki lagi sejak kepergian ayah dan ibunya.

"Dengar, Nak." Kepala keluarga Williams itu kembali bersuara. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa kapanpun kau ingin kembali, rumah sakit milikku akan selalu menerimamu."

**********

Lembang, 2022

"Maam." Sadam tampak berantakan ketika dia memasuki rumahnya. Bagaimana tidak? Beberapa jam yang lalu maminya itu meneleponnya dan memintanya pulang sekarang juga. Tanpa menjelaskan apapun. "Mamii!"

"Di Dapur, Yayang." Bu Ardiwilaga menanggapi sambil setengah berteriak.

"Mam, mami nggak papa kan?" Pria itu tampak panik ketika memastikan kondisi ibunya.

"Apa sih ini?Mami nggak papa." Bu Ardiwilaga tampak risih.

"Papi mana?" Sadam menatap seisi rumah dengan liar. Mencari keberadaan papinya.

"Ada tuh. Yuk." Bu Ardiwilaga terdengar tenang jika dibandingkan dengan saat dia menelepon Sadam tadi.

"Eh, Dam. Udah Dateng?" Pak Ardiwilaga tampak sehat-sehat saja ketika dia menghampiri meja makan mereka.

Sadam menghela nafas menyadari bahwa dia baru saja mengalami serangan panik yang sia-sia. "Mamiii?"

"Yaa kalau nggak gitu, kamu nggak bakalan cepet-cepet pulang." Bu Ardiwilaga tampak santai ketika dia duduk di sisi suaminya. "Kerjaan terus yang dipikirin. Mami sampai nggak diperhatiin."

"Ya tapi nggak gini donk, Mami. Sadam tuh lagi ada rapat loh. Kalau aja mami tadi nggak nelepon, sekarang pasti proyek kita udah deal dan..."

"Dam." Pak Ardiwilaga memotong. "Inget kan? Nggak ada ngomongin kerjaan kalau udah di dalam rumah ini."

"Ya tapi, Pii.."

"Proyek apa sih? Kayaknya penting banget sampai nggak mau diganggu?" Sherina kini sudah berdiri di samping Sadam.

"Biasa, Sher. Proyek ekspor impor hasil perkebunan. Cuma kali ini tuh..." Sadam berhenti berbicara ketika menyadari siapa yang baru saja bertanya. Pria itu menoleh cepat dan mendapatinya disana. Senyum itu. "Sherina?" Katanya memastikan. "SHER!!" Sadam seketika memeluk Sherina ketika dia yakin bahwa gadis itu benar-benar berdiri disana.

**********

"Cambridge tuh ada mata pelajaran ngelamun tengah malem gini ya?" Sadam meletakkan jacketnya itu ke pundak Sherina. Memastikan bahwa gadis itu tak kedinginan lalu duduk disampingnya.

Sherina tersenyum sambil masih menatap langit malam yang cerah itu. Bintang-bintang itu terlihat indah ketika berkedip bergantian.

"Dam, menurut kamu ayah sama ibu bangga nggak ya sama aku?"

Sadam ikut menatap langit itu lalu tersenyum menatap Sherina. "Pasti. Mereka pasti bangga karena anaknya yang jagoan ini udah jadi dokter. Daan, mereka juga pasti bangga karena anak dokternya itu sekarang lagi duduk disini sama cowok paling ganteng se Lembang." Goda Sadam.

"Pede banget si bapak." Cibir Sherina tertawa geli.

"Halah, kamu juga ngakuin itu kan? Itu di Diary yang ada dibawah kasur?"

Sherina menoleh cepat. Diary? Seingat Sherina barang-barang semacam itu sudah dia amankan bahkan sejak dia masih menjadi mahasiswa baru bersama Sadam dulu. Lalu diary yang mana lagi yang pria itu bicarakan?

"Yang sampulnya warna kuning gambar bebek. Kamu bilang disitu kalau aku tuh cowok paling ganteng asalkan aku nggak jahil"

Sialan. Sherina ingat diary yang mana yang dimaksud. Oh, tentu saja Diary yang dia buat ketika dia baru berteman dengan Sadam. Hanya tulisan iseng seorang gadis kecil tentang cinta monyetnya. Untung saja saat itu Sherina tidak pandai merangkai kata-katanya jadi siapapun yang membacanya pasti mengira bahwa itu hanya main-main. Tapi tetap saja itu tidak sopan. Gadis itu segera saja memukuli lengan temannya itu. Sekedar menumpahkan kekesalan atas sikap lancang Sadam.

"Kamu tuh ya. Kalau bukan punyanya tuh harusnya jangan dibuka-buka apalagi dibaca."

"Sher. Aduh. Tapi kan aku nggak sengaja. Eyh, Sher."Sadam terus berusaha melindungi dirinya. "Aku tuh cuman nyelametin buku itu karena mau dibuang sama Bi Asih pas disuruh mami beresin kamar kamu. Beneran nggak bohong."

Sherina akhirnya berhenti. Gadis itu menarik nafas berusaha menenangkan diri ketika dia menatap sinis. "Oke, kamu memang ganteng dari dulu." Katanya membuat Sadam tersenyum senang. "Tapi sayang nggak punya pacar."

Senyum itu seketika hilang. Tapi hanya beberapa detik ketika senyum itu kembali lebih lebar dan lebih lembut. "Aku memang nggak punya pacar tapi aku punya calon istri."

FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang