20

1.1K 52 1.3K
                                    

The Williams Mansion, Cambridge.

Elizabeth Williams terbahak mendengar cerita Sherina. Perempuan anggun itu bahkan sampai mengeluarkan air mata karena tawanya. Sementara yang ditertawakan hanya bisa tersenyum kikuk menahan malu.

"Hentikan, Darling." Arthur Williams memperingatkan main-main ketika ia menyerahkan segelas wine pada Sadam. "Kau bisa membuat tamu kita marah nanti."

"Oh maafkan aku." Mrs. Williams itu berusaha meredam tawanya sendiri. "Tapi ini terlalu lucu. Membayangkan Sherinaku tersayang berselingkuh dengan Richard? Bisa kau bayangkan bagaimana menakutkannya Grace kita kalau itu benar-benar terjadi."

"Ma." Grace menatap ibunya tak terima. Perempuan itu kemudian menatap Sadam dengan sungkan. "Aku minta maaf padamu. Tapi sungguh aku benar-benar tak tahu soal ini."

"Kami memang sengaja tidak memberitahumu, Sayang." Richard yang baru datang langsung saja melingkarkan lengannya ke pinggang Grace. Oh, betapa ia menahan diri untuk tidak mencium calon istrinya itu di depan calon mertuanya. "Karena kau pasti akan mengacaukan segalanya." Katanya yang langsung mendapat pukulan di dadanya. Cukup bertenaga sampai membuatnya harus mengaduh sambil menatap calon istrinya itu tak terima.

"Keputusan yang bagus, Rick." Arthur menyesap minumannya. "Grace ku tersayang selalu mudah dibaca dan mencurigakan jika kau berniat mengajaknya menyimpan rahasia bersama."

"Paa!" Kali ini giliran Grace memprotes ayahnya. "Aku tidak seburuk itu."

"Oh ya?" Kali ini giliran Sherina menimpali. "Kau lupa bagaimana kau mengacaukan rencanaku untuk membantumu mendekati Rick di perpustakaan waktu itu?"

"Jangan coba-coba." Grace menatap Sherina memperingatkan.

"Seingatku waktu itu.."

"Satu kata lagi keluar dari mulutmu maka aku akan menceritakan pada suamimu bagaimana kau menggambarkannya padaku waktu itu."

Sherina mengangkat tangannya menyerah. Ia tahu Grace tidak main-main dengan ucapannya. Dia lebih baik mengalah daripada Sadam tahu terlalu banyak bagaimana ia begitu memujanya selama ini. Suaminya itu bisa sangat besar kepala kalau sampai tahu.

"Nyonya." Anthony, kepala pelayan mereka tampak menyapa dengan sopan saat ia sudah berdiri di depan pintu ruang keluarga itu. "Kamar untuk tamu kehormatan kita sudah siap." Katanya mengerling jenaka pada Sherina.

Jangan salah paham. Pria yang sedikit lebih tua dari Arthur itu bukannya tidak sopan. Sama seperti orang tua Grace, persahabatan antara gadis Indonesia dan nona besarnya itu membuat Anthony menganggap bahwa Sherina juga merupakan bagian dari keluarga Williams. Para pelayan di rumah mewah itu bahkan sering bercanda dengan mengatakan bahwa Sherina adalah anak kedua dari pasangan Williams senior. Ah kalau saja waktu itu Sherina bersedia diangkat sebagai anak oleh majikannya.

Lizzie tersenyum menatap perempuan muda yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. "Beristirahatlah. Cucu-cucuku pasti juga sudah lelah." Perempuan itu kemudian meletakkan tangannya sambil menunduk dan berbisik diatas perut besar Sherina. "Jaga ibu kalian sampai Nana kembali, setuju?"

Seolah mengerti, bayi-bayi itu melakukan pergerakan tepat di dekat tangan Mrs. Williams membuat perempuan itu senang. Ia kemudian meminta kepala pelayannya untuk mengantar Sherina dan Sadam ke kamar mereka sementara ia bersama suami dan anak serta calon menantunya menunggu kedatangan kerabat mereka yang lainnya.

.

.

"Maaf, boleh aku tahu dimana letak kamar mandinya?" Sadam buru-buru menyela begitu anthony membukakan pintu kamar mereka.

Pria paruh baya itu menunjukkan arah dengan sopan. Tersenyum ramah ketika Sadam melewatinya. Begitu pria itu menghilang ke arah yang ditunjukkannya , Anthony berbisik pada Sherina. "Dia orangnya?"

FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang