20. Is This The End?

117 92 42
                                    

Sinar bulan begitu lembut menerangi malam yang gelap. Emma memandang lama ke arah ponselnya yang tampak retak.

"Bagaimana keadaanmu?"

Sebuah suara terdengar membuat Emma tersadar. Dilihatnya Adam yang berjalan kearahnya. Emma mengerutkan keningnya pelan. Kenapa tatapan Adam terlihat, kosong? Apa dia tak salah lihat?

"Sudah lebih baik." ucap Emma tak fokus.

Adam duduk di tepi ranjangnya. Ia menatap Emma datar. Keadaan tiba-tiba menjadi canggung. Kebisuan mulai menghinggapi mereka.

Sebuah dekapan hangat terasa saat Adam memeluk tubuh Emma pelan. Tidak ada penolakan. Bahkan Emma sendiri merasa nyaman. Tapi Emma bisa menangkap sesuatu yang aneh dari Adam. Tidak biasanya pria itu seperti ini. Dia seperti kembali ke dirinya yang dulu.

Emma menahan nafas saat Adam menatapnya begitu dekat. Tangan Adam terangkat dan mengusap bibir Emma pelan. Tidak ada respon. Tubuh Emma menjadi kaku. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Beberapa detik mereka saling terdiam dan menatap satu sama lain.

"Aku diterima. Di unversitas Cambridge." Baiklah, itu bukan pertanyaan.

Adam tersenyum mendengarnya.

"Kau berhasil."

Emma tampak biasa saja mendengar berita tersebut. Sama sekali tidak ada respon. Seolah ini adalah berita lama.

"Sebuah suara memberitahuku soal ini."

Mata Adam membulat. Ia begitu terkejut. Jadi Emma mendengar suaranya selama ini. Sebuah kebahagiaan menghampiri dirinya. Senyuman bahagia terus terukir di wajahnya. Emma bisa menangkap itu.

"Kau mendengarnya?"

Emma mengangguk pelan.

"Kenapa kau baru menemuiku? Kau jadi yang terakhir." Perlu diakui bahwa Emma memang menunggu Adam sedari tadi. Tapi tidak dipungkiri jika Emma juga merindukan Alfa setengah mati.

"Karena aku sadar bahwa aku tidak diinginkan."

Emma tertegun. Adam tersenyum lembut lalu melangkah keluar meninggalkan dirinya sendirian. Ucapan Adam begitu mengganggunya. Ia jadi termenung menatap pintu.

Salah seorang perawat masuk dan membuat Emma tersadar. Perawat itu menyodorkan selembar kertas pada Emma.

"Seorang pasien memintaku untuk menyerahkan ini kepadamu." ucap perawat itu lalu pergi.

Segera dibukanya lipatan kertas itu.

Atap gedung

Emma mengerutkan keningnya pelan. Apa ini sebuah undangan?

Dilihatnya sudut yang tidak rata di pojok bawah kertas. Seperti sebuah tulisan yang dihapus. Tangan Emma terangkat untuk meraba pinggiran kertas. Sebuah nama yang mengejutkannya. Alfa Xander.

****

Dengan tubuh yang begitu lemas Emma berusaha untuk menemui Alfa. Otot-ototnya terasa kaku. Mungkin karena ia cukup lama tertidur. Kakinya terasa agak gemetar saat dibawa melangkah.

Sial! Kenapa harus diatap gedung?

Emma terus menerus mengeluh dalam hati.

Sesampainya disana Emma melihat Alfa yang tengah berdiri menunggunya. Alfa berada agak jauh di depannya. Emma hanya diam di tempat saat ia sudah berada di atap gedung.

Cambridge Classic Story  (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang