BTP|05🕊

783 117 3
                                    

▪︎ 𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ▪︎
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰, 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐧𝐲𝐚.
𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚🤍

▪︎ ▪︎ ▪︎

Vino meletakan dua gelas berisi teh hangat di atas meja, kemudian duduk pada sofa yang tak jauh dari Azka.

"Jujur sama gua kalo lo gak senekat itu jebolin Ziva!" Vino menatap Azka dengan mata menyelidik.

Kedatangan Azka dan Ziva dengan penampilan keduanya yang berantakan itu benar-benar membuat Vino terkejut bukan main, apalagi saat Azka memberitahunya jika pemuda itu dengan Ziva baru saja bermain meskipun tidak sampai intinya. Namun, tetap saja Vino dibuat terkejut oleh kelakuan gila kedua temannya itu.

"Gua udah jujur! Gak sampai gua jebolin. Kewarasan gua masih gua pertahain disela-sela hasrat gua!" Azka menatap jengah pada Vino yang terus saja menatapnya penuh selidik. Apa wajahnya terlihat mencurigakan?

Vino melempar kasar bantal sofa pada Azka. "Anak anjing! Nekat banget lo lakuin itu," geramnya.

"Salahin Ziva yang goda gua duluan! Gua jamin lo juga bakal kepancing kalo liat dia cuman pake singlet yang kelewat ketat itu!" protes Azka tak terima pada Vino yang malah menyalahkannya.

"Tapi mesumnya gua gak segila lo, sialan! Gua masih bisa nahan diri biar gak nekat kaya lo itu," balas Vino.

"Gua masih sadar yah itu! Buktinya gua masih tau batasan dan gak nekal jebolin dia—"

"Azka! Bantu gua."

Teriakan Ziva dari dalam kamar Vino itu berhasil menghentikan ucapan Azka.

"Samperin, tapi kalo lo berdua nekat lanjuti itu di kamar gua. Gua matiin lo berdua!" ancam Vino yang sudah hapal betul dengan kegilaan Ziva, apalagi selama ini kekasih dari temannya itu selalu memakai baju kurang bahan, benar-benar sengaja memancing hasrat para buaya.

"Kagak! Gua janji," kata Azka dan berlalu pergi untuk menemui Ziva.

"Kenapa?" tanya Azka setelah dirinya masuk dan menutup pintu kamar Vino.

"Gak ada baju lain selain ini?" tanya Ziva sambil menujukan kaos kebesaran milik Vino.

Azka memperhatikan tubuh Ziva dari atas sampai bawah dan tepat! Kekasih itu sengaja memanggilnya untuk kembali menggodanya, karna sudah jelas tidak ada yang salah dari baju yang saat ini Ziva kenakan. Kaos kebesaran Vino dengan boxer pemuda itu terlihat pas di tubuh Ziva.

"Itu cocok di tubuh lo, Yank. Jangan pancing gua lagi! Vino udah kasih kita ancaman kalo berani lakuin itu di kamarnya, dia bakal matiin kita berdua," ucap Azka menjelaskan.

"Suruh siapa lo bawa gua ke sini?" tanya Ziva yang kini berubah kesal, berlalu pada kasur Vino dan duduk di sana seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Gua gak mungkin bawa lo ke rumah gua atau anter lo ke rumah lo sendiri dengan penampilan kita yang berantakan," tutur Azka yang sudah duduk si samping Ziva.

"Yakan lo bisa bawa kita ke hotel—"

"Jangan gila! Lo terlalu nakal, sialan!" sergah Azka dengan memberikan tatapan tak suka pada kekasihnya itu.

"Gua nakal cuman di depan lo doang! Bukan di depan cowok lain!" balas Ziva tak mau kalah.

Azka mengambil alih handuk dari tangan Ziva—membantu mengeringkat rambut kekasihnya secara perlahan.

"Lo selalu bisa bikin gua gila! Dengerin gua, lo boleh nakal dengan menggoda gua tapi jangan terlalu nakal, jangan karna gua bisa mertahanin kewarasan gua bukan berarti gua gak bakal ngelewati batasan gua. Sayang ... tubuh lo ini harus gua jaga bukan malah gua rusak. Jadi tolong bantu gua, jangan malah mancing-mancing gua!" Di akhir ucapannya Azka mendengus kesal, menatap jengah pada Ziva yang malah terkekeh padanya.

"Iya-iya gua bakal tau batasan, gua bakal goda lo tipis-tipis aja gak bakal brutal kaya tadi," kata Ziva dengan cengiran bodohnya yang sama sekali tidak bisa Azka percayai.

Ziva tetaplah Ziva, kekasihnya itu akan terus melakukan apapun yang gadis itu mau, termasuk menggodanya hingga membuatnya kalang kabut oleh hasrat seperti satu jam yang lalu.

"Minum teh hangat dulu, udah Vino buatin untuk lo. Gua mau mandi dulu," kata Azka memberikan kembali handuk pada Ziva, kemudian berlalu pergi—masuk ke dalam kamar mandi.

▪︎ ▪︎ ▪︎

Ziva yang baru saja masuk ke dalam rumahnya itu sudah langsung diberi tatapan tajam oleh wanita yang berstatus sebagai Mamahnya—Nisa. Sang Mamah yang sedang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas yang berserakan di atas meja.

"Jam berapa ini?" tanya Nisa dengan suara dingin, bahkan raut wajahnya terlihat begitu marah.

Ziva menghela napas lelah. "Hujan baru reda beberapa menit yang lalu, wajar 'kan kalo Ziva pulang telat?"

"Jangan karna Mamah jarang di rumah, bukan berarti kamu bisa seenaknya masa modo sama aturan-aturan yang Mamah buat Zivanya!"

"Mah! Ziva kejebak Hujan! Apa gak boleh Ziva neduh dan pulang setelah huja reda? Harus banget gitu Ziva nerobos hujan?"

"Neduh di Apartement cowok mana kamu?" tanya Nisa dengan memperhatikan baju yang dikenakan oleh Ziva dengan penuh selidik.

"Apa semurahan itu aku di mata Mamah?" Ziva balik bertanya dengan raut wajah yang berubah lelah.

"Mamah tanya! Harusnya kamu jawab bukan malah balik tanya!" gertak Nisa.

"Neduh di Apartement Vino bareng Azka! Puas?"

"Yakin cuman neduh? Atau—"

"Mah! Aku anak mamah, kenapa pandangan Mamah tentang aku harus semurahan itu?" sela Ziva dengan sarkas, masa bodo dengan rasa sopannya karna menyela ucapan Mamahnya itu.

"Harusnya kamu ngaca! Liat diri kamu sendiri, pandangan Mamah ke kamu yang salah atau cara kamu yang salah dalam berpakaian! Zivanya, tanpa adanya Mamah di rumah bukan berarti Mamah gak tau semuanya tentang kamu, Tasya dan juga Raka! Mamah tau semuanya. Bahkan kamu yang selalu pulang malem dengan pakaian minim bahan itu Mamah juga tau!" jelasnya dengan penuh ketegasan.

"Berarti tempo lalu saat Tasya lempar piring ke aku, Mamah tau juga dong?" tanya Ziva yang dibalas anggukan oleh Nisa. "Iya Mamah tau."

Dengan respon sang Mamah yang kelewat santai itu berhasil membuat Ziva mengepalkan kedua tangannya, merasa kesal sekaligus tak percaya. Bagaimana bisa Mamahnya sesantai itu? Padahal jika ia yang melakukannya pada Tasya sudah pasti di hari itu juga Mamahnya akan pulang dan mengamuk padanya.

"Kenapa harus sesantai itu? Sedangkan kalo aku yang ngelakuin itu ke Tasya, pasti Mamah bakal marah besar 'kan? Maki aku tanpa peduli dengan kalimat-kalimat yang Mamah lontarkan ke aku itu nyakitin aku atau enggak," lirih Ziva seraya menatap kecewa pada Nisa.

"Ziva—"

"Kenapa harus dibedain antara aku sama Tasya? Aku tau Tasya anak kesayangan Mamah, tapi setidaknya Mamah jangan lupa kalo aku juga anak Mamah! Harusnya Mamah bisa bagi rata rasa sayang Mamah itu ke aku sama Tasya, bukan malah Mamah kasih ke Tasya semua!"

"Zivanya, Mamah—"

"Bukan cuman kasih sayang tapi juga segala hal, Mamah salalu gak adil! Selalu Tasya, Tasya dan Tasya yang ada di depan, jadi anak kesayangan Mamah, prioritas Mamah! Sedangkan aku? Astaga, bahkan Ziva lupa kapan terakhir kali Mamah bilang sayang ke Ziva!"

"Zivanya!"

"Udah yah Mah, Ziva cape mau istirahat. Kalo mau marahin Ziva besok pagi aja," kata Ziva dan langsung berlalu pergi, berjalan cepat menuju kamarnya.

▪︎ ▪︎ ▪︎

|𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧|
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
---

𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang