▪︎ 𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ▪︎
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰, 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐧𝐲𝐚.
𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚🤍▪︎ ▪︎ ▪︎
Sesampainya di kelas—Ziva bisa melihat jelas Geri dan Siska yang tengah mengobrol santai, tidak ada keributan ataupun saling adu mulut seperti yang dikatakan oleh Vino.
Bukan hal penting untuk Ziva, gadis itu memilih untuk pergi ke tempatnya, menjatuhkan bokongnya di kursi. Pandangannya ia fokuskan pada jendela di sampingnya, memperhatikan lapangan yang siang ini tengah kosong—tidak ada satu orangpun yang berada di sana.
Hingga tak lama seseorang muncul di sana, tersenyum seraya menyodorkan cup berisi es teh dingin pada Ziva.
"Masuk, ngapain lo diem di situ?" tanya Ziva dengan nada ketus.
"Terima dulu napa, tangan gua pegel." Azka berdecak kesal, memaksa Ziva untuk menerima minuman yang sengaja dirinya beli untuk gadisnya itu.
Ziva menurut, mengambil cup yang disodorkan oleh Azka dan meletakannya di atas meja—sama sekali tidak ada niatan untuk meminumnya.
"Gak lo minum?" tanya Azka setelah pemuda itu menjatuhkan bokongnya di samping Ziva.
Ziva menggeleng pelan, mengalihkan pandangannya pada Azka yang terus saja menatapnya.
"Udah gak marah?" tanyanya yang berhasil membuat Azka mengerutkan keningnya, tak paham dengan maksud ucapan kekasihnya itu.
"Gua marah? Kenapa?" Azka balik bertanya seraya menujuk dirinya sendiri—tentu saja dengan wajah binggungnya.
Ziva menatap malas pada Azka yang malah terlihat bodoh. Padahal beberapa menit yang lalu kekasihnya itu pergi meninggalkannya dengan perasaan marah.
"Tau lah! Males gua," decaknya yang mendadak kesal pada Azka.
"Gua gak marah sama lo, gua cuman gak suka sama ucapan lo itu," jelas Azka yang membuat Ziva kembali menatap padanya.
"Jangan karna penampilan dia gak jauh beda sama lo, bukan berarti gua suka sama modelan kaya gitu. Lo sama dia beda, Zivanya. Gua milih lo karna gua cinta sama lo dan gua cinta sama lo karna itu elo, bukan dia atau pun mereka. Persetan dengan penampilan atau mulut kasar lo itu, gua terima semua yang ada pada diri lo," tambahnya dengan penuh keseriusan ditiap ucapannya, meyakinkan Ziva dengan sorot mata yang terlihat penuh ketulusan.
"Kurang jelas? Hari libur nanti gua bakal bawa lo buat ketemu sama orang tua gua."
Seketika kedua mata Ziva membulat sempurna, merasa terkejut sekaligus senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Azka.
Selama ini hanya itu keinginan Ziva, bertemu dengan orang tua Azka yang sampai detik ini tidak pernah dirinya ketahui.
"Pulang sekolah kita nonton yah, sekalian beli baju buat lo nanti."
Seolah tau maksud dari ucapan Azka barusan, raut wajah bahagia Ziva seketika berubah datar.
"Lo bener-bener terima semua yang ada pada diri gua—termasuk penampilan gua atau itu sebatas omong kosong untuk bikin gua seneng aja?" tanya Ziva. Nada bicaranya berubah meninggi dengan sorot mata yang kini terlihat penuh marah.
"Ziva, maksud gua bukan—"
"Gua benci lo Azkaro!" Ziva menyela cepat ucapan Azka, mengambil kasar tasnya dan berlalu pergi pada meja belakang.
Azka yang semula ingin kembali menjelaskan pada kekasihnya itu tertahan oleh guru yang tiba-tiba masuk. Dirinya hanya bisa menghela napas saat raut wajah Ziva terlihat begitu marah.
▪︎▪︎▪︎
Azka masuk ke dalam kamar sang mamah setelah mengetuk pintu, berjalan mendekat pada wanita yang saat ini tengah menikmati suasana sore di depan balkon kamar—hal favorite sang mamah.
"Mah, Azka mau ngobrol bentar," ucap Azka setelah pemuda itu berdiri tepat di samping sang mamah.
"Apa serius?" tanya Sinta dengan tatapan teduhnya.
Azka tak langsung menjawab, pemuda itu terdiam sesaat. Seolah tengah berpikir akan suatu hal.
Menyadarinya, Sinta tersenyum hangat. Menepuk pelan pundak anak sulungnya yang saat ini terlihat seperti ragu.
"Serius ataupun tidak, Mamah bakal dengerin. Jadi?"
Azka menghela napas pelan, kemudian berucap, "pacar Azka mau ke rumah, dia mau ketemu Mamah," katanya dengan suara pelan, entah ada apa dengannya. Namun rasanya begitu sulit untuk berbicara dengan wanita di sampingnya ini.
"Akhirnya! Jadi ... kapan dia mau ketemu sama Mamah?" tanya Sinta dengan raut wajah yang berubah senang.
Dengan respon sang mamah yang terkesan hangat itu mampu membuat Azka kembali bungkam.
"Kenapa? Apa kamu kira, Mamah bakal larang kamu bawa dia?" tanya Sinta lagi saat anak sulungnya tak kunjung bersuara, hanya diam seraya menatapnya.
"Tapi dia—" Azka menghentikan ucapannya, dirinya merasa ragu antara mengatakannya atau tidak. Sungguh, pembicaraan saat ini terasa begitu berat untuk Azka—terdapat rasa takut tiap kali ia berbicara.
"Karna cara dia berpakaian? Sikap dia Atau cara dia berbicara? Kalo itu yang bikin kamu takut untuk mengatakannya, Mamah paham. Tapi ... apa yang kamu takutkan itu salah, Sayang. Dia yang sampai sekarang menjadi pacar kamu itu adalah gadis yang kamu cinta, gadis yang dimau hati kamu." Sinta menghentikan ucapannya, kembali menepuk pundak Azka dengan sesekali mengusapnya pelan.
"Siapapun dia, akan Mamah terima dengan senang hati. Entah bagaimana dia berpakaian, cara dia berbicara, akan mamah terima tanpa banyak protes. Dia milik kamu, kebahagiaan kamu. Lalu, kenapa harus Mamah larang buat kamu jatuh cinta sama dia? Sudah cukup selama ini kamu sembunyikan dia dari Mamah, sekarang waktunya kamu temuin Mamah sama dia."
"Azka ... seharunya dari dulu kamu bawa dia ke Mamah, kenalin dia ke keluarga kamu sendiri. Selama ini Mamah gak pernah ngelarang kamu untuk bawa dia ke sini, kan?"
"Azka cuman takut Mamah berubah pikiran setelah Azka kenalin dia ke Mamah," ujar Azka membuat Sinta yang mendengarnya tertawa pelan.
"Kenapa harus? Astaga, Azkano. Dengerin Mamah, entah dia masuk ke dalam kriteria Mamah ataupun tidak, itu bukan masalah besar untuk Mamah. Selama dia—gadis yang kamu cinta, bisa membuat kamu bahagia, Mamah hanya bisa mendukung kalian saja."
"Bawa dia, pelukan Mamah akan selalu menerimanya. Jangan terlalu lama membuat anak gadis orang berpikir yang bukan-bukan hanya karna tidak kamu kenalkan pada keluarga kamu, Azkano."
Mendengar semua yang mamahnya katakan itu berhasil membuat rasa ragu dan takut Azka selama ini lenyap, digantikan dengan perasaan senang dengan hati menghangat.
"Jadi ... kapan?" tanya Sinta dengan senyum tipis, mengoda Azka yang kini terlihat begitu senang.
"Hari minggu Azka bawa dia buat ketemu sama Mamah," jawab Azka.
Sinta mengangguk pelan, "Mamah tunggu."
"Kalo gitu, Azka balik ke kamar," pamit Azka dan berlalu pergi dengan perasaan yang begitu bahagia.
"Azkano!"
"Iya, Mah?" Azka menghentikan langkahnya, membalikan tubuhnya seraya menatap Sinta dengan raut wajah menunggu.
"Jangan paksa dia untuk menjadi yang bukan dirinya. Nanti, biarkan dia menjadi dirinya sendiri—entah dari pakaian yang dia kenakan, ataupun saat dia berbicara dengan Mamah. Jangan takut, Mamah akan selalu menerima apa yang sudah menjadi pilihan kamu. Karna, kamu sendiri yang tau mana yang terbaik untuk kamu dan mana yang tidak," ujar Sinta dengan terus terang, tersenyum di akhir ucapannya sebelum dirinya kembali menikmati suasana sore.
▪︎▪︎▪︎
|𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧|
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
---
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧.✔
Teen Fiction• 𝐁𝐞𝐫𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧𝐦𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫-𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢. • • • Ziva dan Azka adalah sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan untuk waktu yang cukup lama. Hubungan keduanya juga tak serta-merta s...