BTP|12🕊

502 62 0
                                    

▪︎ 𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ▪︎
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰, 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐧𝐲𝐚.
𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚🤍

▪︎ ▪︎ ▪︎

Ziva menatap bingung pada Mamahnya yang tengah sibuk membuat kue. Tumben sekali Mamahnya itu mau meluangkan waktu untuk hal-hal seperti ini, bisanya wanita itu akan selalu dan selalu menyibukan diri dengan kerjaan kantornya.

"Mah, tumben banget," ujar Ziva sembari mandudukan dirinya di kursi.

Nisa tersenyum kecil di sela kefokusannya memotong kue.

"Gak boleh gitu kalo Mamah di rumah? Harus banget Mamah kerja terus sampai gak boleh di rumah. Gitu?"

Bukan Nisa yang berbicara, melainkan Tasya yang baru saja datang dengan raut wajah tak bersahabat.

Ziva tak menangapi, dirinya hanya menatap sesaat pada Tasya sebelum kembali fokus memperhatikan Mamahnya.

"Mah, Ziva mau—"

"Tasya mau potongan kue yang gede, Mah!" pinta Tasya menyela cepat ucapan Ziva

"Ambil aja semua, biar lo kenyang," kata Ziva. Balas tersenyum sinis saat Tasya memberinya raut wajah kesal.

"Mamah potong sama rata, biar kebagian semua," jelas Nisa sembari menyodorkan piring berisi potongan kue pada Ziva dan Tasya.

"Kenapa punya Tasya gak ada coklatnya? Sedangkan punya Ziva—"

"Lo ribet banget sih jadi bocah! Harus banget semua hal lo jadiin bacotan?" serga Ziva yang begitu gemas dengan tingkah Tasya, benar-benar membuatnya ingin menampar mulut gadis itu mengunakan panci—terlalu pickme.

"Mah—" Seolah acuh pada Ziva, Tasya memilih kembali protes pada sang mamah.

"Makasih buat kuenya Mah, Ziva balik ke kamar yah," pamit Ziva yang langsung mengambil bagiannya. Masa bodo pada Tasya yang terus merengek pada sang mamah.

Ziva tau niat gila Tasya saat ini, gadis itu akan terus merengek pada Nisa hingga sang mamah memintanya untuk bertukar kue dengan Tasya.

Jika pun mamahnya itu kembali memaksanya, tetap tidak akan Ziva lakukan. Apapun yang sudah menjadi miliknya akan tetap menjadi miliknya.

Niat awalnya yang ingin kembali ke kamar pun tidak jadi Ziva lakukan, gadis itu memilih pergi ke kamar Raka. Masuk ke dalam kamar sang Kaka tanpa mengetuk atau meminta izin terlebih dulu, masa bodo untuk Ziva. Jika Raka mengamuk, dirinya akan balas mengamuk.

"Sialan! Kaget anjing." Raka mengumpat dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal.

Sedangkan Ziva hanya menatap malas pada Raka, duduk tak jauh dari posisi pemuda itu yang baru saja kepergok tengah menonton bokep.

"Kue dari mana?" tanya Raka mendekat pada Ziva—bersiap untuk mengambil kue milik adiknya itu, tapi sialnya Ziva lebih cepat menjauhkannya dari Raka.

"Ambil sendiri, Mamah yang buat. Bagian lo ada di bawah, ambil sebelum tuh bocah ambil bagian lo juga," ucap Ziva yang langsung membuat Raka berlari keluar kamar.

"Tuker kue, Ziv!"

Ziva menoleh ke asal suara, kembali memberi tatapan malas pada gadis yang tengah menahan kesal padanya.

"Gua kakak lo! Sopan dikit jadi bocah," perintah Ziva dengan dengkusan kesal di akhir ucapannya.

Tasya memutar malas bola matanya, meletakan piring miliknya ke atas meja dengan kasar. Berniat untuk mengambil piring milik Ziva, tapi belum sempat menyentuh, Ziva lebih dulu memukul keras lengannya.

"Ini hak gua, milik gua! Jangan harap gua mau tuker sama punya lo." Ziva memperhatikan sekilas kue milik Tasya yang sudah sedikit berantakan.

"Mamah yang suruh! Lo gak bisa nolak," kata Tasya.

Ziva tersenyum sinis. Menjauhkan piring miliknya tepat saat Tasya akan kembali merebutnya, "kata siapa? Gua bisa nolak apa pun yang gak gua suka." Ziva Merasa begitu puas saat wajah Tasya berubah memerah—menahan marah.

"Ziva—"

"Keluar dari kamar gua, lo gak ada hak masuk ke sini sebelum dapet izin dari gua!" gertak Raka yang langsung menarik paksa Tasya untuk keluar dari kamarnya. Menutup langsung pintu kamarnya sebelum gadis itu bersuara untuk protes.

Masa bodo, Raka tidak peduli jika nantinya adik keduanya itu mengadu pada sang Mamah.

"Kenapa lagi tuh bocah?" tanya Raka setelah mendudukan dirinya seraya meletakan piring di atas meja.

"Ngebet pengen tuker kue, enak aja! Kagak bakal gua kasihlah," sahut Ziva dengan nada sebalnya.

"Kali-kali harus dikasih pelajaran tuh bocah biar gak makin gila," kata Raka tertawa pelan di akhir ucapannya—Entah apa yang lucu, pemuda itu sendiri pun tidak tau.

"Oh iya, doi lo di bawah, lagi ngobrol sama Mamah," tambah Raka—berhasil membuat Ziva membulatkan matanya.

Dengan cepat Ziva beranjak dari tempatnya berlalu keluar kamar untuk menemui Azka yang mungkin saja akan diintrogasi oleh sang Mamah.

▪︎ ▪︎ ▪︎

"Mau sampai kapan marah sama gua-nya? Udah dua hari lo diemin gua, padahal gua udah jelasin semuanya," lirih Azka. Tatapan serta raut wajahnya terlihat jelas jika pemuda itu begitu lelah.

Dengan helaan napas kasar, Ziva mengalihkan padangannya pada Azka, menatap pemuda itu dengan wajah datarnya.

"Lo gak kangen gua, Yank?" tanya Azka dengan tatapan yang berubah memohon.

"Kali ini tujuan lo apa?" Ziva balas bertanya tanpa peduli dengan pertanyaan Azka barusan.

"Hari minggu, gua bawa lo ke rumah—"

"Gak usah, bawa cewek lain aja buat lo kenalin ke keluarga lo. Kalo perlu bawa aja Tasya, penampilannya bagus, gak kaya gua," serga Ziva dengan cepat, kembali membuang muka ke arah lain.

"Persetan! Gak akan ada cewek selain lo yang bakal gua kenalin ke Mamah," kata Azka dengan nada yang berubah kesal.

"Tapi sampai kapan pun gua akan jadi diri gua sendiri! Apa pun yang gua pakai, kalo nantinya keluarga lo gak suka sama gua, gua gak masalah. Gua terlalu malas buat cari muka hanya untuk sebuah restu! Lebih baik lo gua tinggal dari sekarang dari pada nantinya gua harus ngemis-ngemis atau pun menjadi yang bukan diri gua sendiri!" jelas Ziva dengan terus terang.

"Gua minta maaf untuk perkataan gua tempo lalu yang bikin lo marah sampai sekarang. Kali ini, gua gak akan maksa lo lagi untuk sesuatu yang bukan diri lo sendiri. Zivanya ... nyokap gua bilang—siapa pun lo, cara lo berpakaian atau pun sikap lo nantinya, dia bakal tetap terima lo. Katanya apa yang udah jadi pilihan gua akan selalu dia terima dengan senang hati."

"Zivanya, dia percaya sama gua. Apapun yang jadi pilihan gua, gua gak akan salah pilih. Mulai sekarang, lo bebas pakai apa pun yang nyaman di tubuh lo, gua gak akan larang lo lagi, gua akan selalu terima lo sebagai diri lo sendiri."  Setelah mengatakan itu, Azka berdiri dari tempatnya. Mendongak menatap langit malam dengan helaan napas yang terdengar begitu berat. Satu tangannya terangkat, mengusap lembut puncak kepala Ziva, kemudian berlalu pergi tanpa kembali mengatakan sepatah kata pun pada Ziva yang kini diam memperhatikan kepergiannya.

▪︎ ▪︎ ▪︎

|𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧|
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
---

𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang