BTP|09🕊

555 104 0
                                    

▪︎ 𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ▪︎
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰, 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐧𝐲𝐚.
𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚🤍

▪︎ ▪︎ ▪︎

"Jadi ... letak kesalahannya di mana, Mah? Sikap Ziva atau cara Mamah memperlakukan Ziva selama ini?"

Tidak ada akhir dalam perdebatan antara Ziva dan sang Mamah. Lagi-lagi keduanya kembali beradu mulut dengan keras kepala yang membuat keduanya enggan untuk mengalah.

"Ziva, Mamah cuman ingin—"

"Mah cukup yah, untuk hari ini damai dulu, demi tuhan Ziva bener-bener gak kuat kalo harus terus debat sama Mamah yang sama keras kepala kaya Ziva. Sampai kapanpun gak akan selesai, gak akan ada yang mau kalah," sela Ziva dengan nada biacara yang terdengar begitu lelah, berharap saja Mamahnya itu mau mendengarkan ucapannya.

"Pergi ke kamar kamu, istirahat," titah Nisa yang langsung kembali menyibukan diri dengan pekerjaanya.

Ziva menghela napas lega, berlalu pergi ke kamarnya seperti yang diperintahkan oleh sang Mamah.

"Ziv!"

Ziva yang baru saja akan masuk ke dalam kamarnya itu terhenti oleh suara Raka—pemuda yang saat ini tengah memunculkan kepala di pintu kamar sebelah.

"Paan? Gua cape mau istirahat!" saut Ziva dengan kesal.

"Sini dulu bentar!" titah Raka dengan nada memaksa, bahkan tak segan-segan pemuda itu memberi pelototan pada Ziva—membuat Ziva dengan malas berlalu masuk ke dalam kamar Raka, mengekor pemuda itu dan menjatuhkan tubuhnya pada kasur Raka.

Netranya tak lepas memperhatikan Raka yang tengah mengobrak-abrik tas ransel pemuda itu, seolah tengah mencari sesuatu di sana.

"Nih—" Raka melempar sebuah box berukuran sedang ke atas kasur, mendarat tepat di samping tubuh Ziva yang tengah berbaring.

"Ponsel?" Ziva menatap binggung box ponsel dan Raka secara bergantian.

"Gua ganti ponsel lo yang ilang tempo lalu," jelas Raka mendudukkan dirinya pada kursi dengan kedua kaki yang ia naikkan ke atas meja belajar.

"Tumben pengertian," sindir Ziva setelah mengubah posisinya menjadi duduk, sorot matanya tak lepas dari ponsel barunya saat ini.

"Sebenernya bukan gua sih yang beli tapi Mamah, hehe," dengan santainya Raka nyengir, menujukan raut wajah idiotnya pada Ziva.

"Yang bener lo atau Mamah yang beli nih hape?" tanya Ziva malas.

"Canda! Gua lah yang beli, yakali Mamah. Gak bakal mungkin," sahut Raka dengan dengusan kecil di akhir ucapannya.

Ziva setuju dengan ucapan Raka, jangan terlalu berhadap lebih pada sang Mamah, wanita itu tidak mungkin mau bersikap baik padanya secara tiba-tiba, tidak akan mungkin.

"Nanti kalo Mamah minta hape lo lagi jangan dikasih, hape lo bukan dibeli sama dia. Bilang aja lo beli pake duit lo sendiri," ucap Raka yang membuat Ziva merubah raut wajahnya.

"Gua gak sebodoh elo yah Bang! Jadi gak usah so-soan ngasih tau gua," sindir Ziva dengan malas.

Raka mendengkus sebal, merasa tak terima dengan sindiran Ziva itu. "Gua lupa, bukan bodoh itu," katanya, mengelak.

"Terserah, gua gak peduli. Tapi makasih Bang, ponsel dari lo bakal gua jaga," kata Ziva memberikan senyuman tipis pada Raka.

Raka mengangguk seraya tersenyum puas. "Balik kamar gih, istirahat," titahnya yang dibalas gelengan oleh Ziva. "Gua mau tidur di sini, males gua buat jalan ke kamar, terlalu mager!"

"Serah lo!"

▪︎▪︎▪︎

"Ziva, Mamah boleh masuk?"

Ziva yang semula tengah melamun itu refleks menoleh pada Nisa yang masih berada di bibir pintu—menunggu persetujuan darinya.

"Masuk aja," titah Ziva.

Nisa berjalan mendekat pada Ziva, duduk di samping anak keduanya itu yang kini enggan menatapnya.

"Mamah minta maaf untuk semua kesalahan Mamah," ucap Nisa.

Ziva menoleh, menatap sang Mamah dengan raut wajah datarnya, "kesalahan Mamah yang mana?" tanyannya yang berhasil membuat Nisa bungkam.

Ziva berdecak, tertawa pelan karna tau betul alasan di balik diamnya sang Mamah, padahal selama ini wanita di sampingnya ini tak pernah mau untuk bungkam jika sudah berbicara dengannya.

"Mamah aja gak tau kesalahan Mamah, kan? Jadi kenapa harus minta maaf?"

"Zivanya—" ucapan Nisa terhenti saat Ziva turun dari kasur, berjalan menuju sudut ruangan dan berdiri tepat di depan kaca besar yang berada di sana.

"Apa karna penampilan Ziva yang gak sesuai sama ekspektasi Mamah dan bikin Ziva jadi anak yang gak bisa bikin Mamah bangga?" tanya Ziva menatap Nisa dari pantulan cermin dengan pandangan kosong.

"Apa Mamah pernah tanya alasan Ziva kaya gini? Nekat pake baju kurang bahan dengan wajah Ziva yang full makeup?" tanyanya lagi saat Nisa tak kunjung bersuara, wanita itu hanya diam mendengarkan, tidak memotong atau protes akan ucapan Ziva.

"Ziva kaya gini karna Ziva kurang perhatian Mah," lirihnya yang langsung menundukan kepalanya dengan tawa pedih di akhir ucapannya.

"Harusnya Mamah tegur Ziva secara baik-baik, bukan malah ngatain Ziva kaya cewek murahan," lanjutnya seraya kembali mendongkak, memperhatikan sang mamah dari pantulan cermin, Ziva bisa melihat jelas raut wajah terkejut sang Mamah di sana.

"Zivanya—Mamah minta maaf. Mamah terlalu paksa kamu untuk menjadi apa yang Mamah mau dan selalu bandingin kamu dengan Tasya. Kamu benar, kalian berdua orang yang berbeda dan gak bisa dipaksa menjadi sama. Mamah terlalu berharap sampai Mamah lupa kasih kamu kesempatan untuk bersuara. Zivanya, Mamah bener-bener minta maaf dan Mamah harap kali ini kamu mau untuk dengerin Mamah. Ini untuk kebaikan kamu, Zivanya. Mamah takut kamu kenapa-napa jika terus pakai baju kaya gitu, apalagi dengan kamu yang sering pergi sana-sini dan sering pulang malam, Mamah khawatir sama kamu, Zivanya. Tolong ngerti Yah, ini buat kamu sendiri, bukan buat Mamah."

"Jadi ... Ziva harus kaya Tasya? Diem di rumah terus dan gak boleh nikmatin masa muda Ziva bareng temen-temen gitu?"

Nisa menggeleng pelan, "kamu salah paham, Mamah gak larang kamu buat nikmatin masa muda kamu bareng teman-teman kamu. Mamah cuman minta kamu untuk bisa jaga diri dan tau batasan, jangan terlalu berlebihan—entah cara berteman kamu atau cara kamu berpacaran. Kamu anak gadis Mamah, mau bagaimanapun juga Mamah sayang sama kamu, Mamah gak mau terjadi sesuatu sama kamu."

Ziva terdiam—hanya sesaat karna setelahnya ia kembali bersuara. "Selama Mamah bisa adil antara aku dan Tasya dalam memberi kasih sayang, perhatian, dan gak membandingkan aku sama anak kesayangan Mamah itu, Ziva akan berusaha untuk dengerin semua ucapan Mamah. Gimana?"

"Akan Mamah lakukan, tapi janji sebisa mungkin kamu ganti baju yang kamu pakai itu dengan baju yang normal gak kaya gini—" Nisa memperhatikan baju yang saat ini Ziva pakai, celana yang kelewat pendek dengan singlet yang ketat, benar-benar membuat Nisa merasa risi melihatnya.

"Oke-oke Ziva ganti pake hoodie!" Final Ziva saat sadar dengan tatapan tak suka dari Mamahnya itu.

Nisa tersenyum senang mendengarnya. Beranjak dari tempatnya untuk mendekat pada Ziva, satu tangannya terangkat—mengusap lembut kepala Ziva dengan penuh rasa sayang.

"Mamah sayang sama kamu, tapi Mamah sadar jika selama ini Mamah selalu nutup mata dengan terus memaksa kamu untuk menjadi seperti yang Mamah mau," ucap Nisa—terdengar tenang namun penuh rasa bersalah.

"Mah—"

"Kita makan malem, yang lain udah nunggu di bawah," potong Nisa dengan cepat, tersenyum kecil pada Ziva dan setelahnya berlalu pergi.

▪︎▪︎▪︎

|𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧|
𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 © 𝐓𝐢𝐚𝐫𝐚𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚𝟒
---

𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang