Kehidupan yang berjalan dengan tenang, nyatanya tidak selamanya seperti itu. Banyak kejadian mengejutkan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Entah siap maupun tidak, kita tetap harus berdiri melewati badai yang datang.
...
B
unda diam, sadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih lanjut pada Ara. Bunda akan mencari waktu yang pas, untuk bisa mendengarkan keluh kesah putri sulungnya.
Mereka melanjutkan kegiatan memasaknya dalam keadaan hening.
Bunda dengan perasaan bersalahnya, dan Ara dengan moodnya yang kurang.Kegiatan memasak akhirnya selesai. Hari masih menunjukan pukul 05:35.
"Ara, tolong bunda bangunkan ila dan David, ya." Pinta bunda yang sedang menuangkan sayur ke dalam mangkuk.
"Iya, bunda." Jawab Ara selesai mencuci tangannya.
Ara berjalan menuju lantai dua. Dimana letak kamar kedua adiknya berada. Pertama, Ara memasuki kamar ila. Letaknya pun tak jauh dari anak tangga, dan kebetulan, ila juga agak susah dibangunkan jika tidur.
Ara mengetuk pintu kamar ila, tak ada jawaban dari sang pemilik kamar. Lantas, Ara memutar kenop pintu. Ketika pintu sudah terbuka, Ara melihat gundukan besar di atas kasur yang membelakanginya.
Berjalan mendekat, duduk ditepi kasur. Menyentuh pelan pundaknya serta memanggil namanya.
"Ila, bangun, yuk. Udah jam setengah enam, nih. Nanti telat ke sekolahnya. Panggil Ara lembut pada ila.
Ila menggeliat dari tidurnya. Bukannya bangun, ila malah membelakangi Ara, dan berkata. "Mba, ganggu. 10 menit lagi, ya." Ujar ila meminta waktu tambahan.
"Nggak ada waktu lagi, La. Mba Ara, mau bangunin bang David." Paksa Ara, agar ila segera bangun.
Ila kalah, jika dirinya masih tetap tidak mau bangun, pasti mba nya tidak akan beranjadi dari kamarnya. Bisa-bisa bang David yang bangunin. Uuuuhhhh, Ara tidak mau. Karna bang David itu, kalau bangunin ila, pasti langsung diangkat ke kamar mandi. Ila tidak mau.
Dengan terpaksa ila bangun, muka bantalnya sangat terlihat. Duduk sebentar, mengumpulkan nyawa dulu katanya.
"La, langsung mandi, beres-beres, ya. Mba Ara, mau cek bang David dulu." Pesan Ara, beranjak dari kasur milik ila, keluar menuju kamar adik pertamanya, David.
Sampai didepan kamar David, belum sempat Ara membuka pintu kamar, pintu itu justru terbuka lebih dulu dari dalam. Ara kaget, refleks melangkah mundur. Ketika pintu sempurna terbuka, munculah David yang sudah rapi dengan setelan seragam sekolahnya. Terlihat segar dan wangi.
David itu, terbilang anak yang mandiri. Ketika Ara maupun bunda ingin membangunkannya sekolah, tapi dia sudah lebih dulu bangun. Jarang meminta bantuan. Mungkin, David merasa bahwa ia sudah beranjak dewasa.
"Udah rapi?" Tanya Ara basa basi.
"Udah, mba." Jawab David sambil menutup pintu.
"Yaudah, ke bawah duluan, ya. Mba, mau cek ila lagi. Takut dia tidur kembali. Sekalian mau liat Nizam." Kata Ara, pada David.
"Iya, mba." David meninggalkan Ara didepan pintu kamar ila.
Ara langsung membuka pintu kamar ila. Kosong. Tak ada pemilik kamar. Tapi, Ara mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Mungkin ila sedang mandi, pikirnya.
Ara melangkahkan kakinya menuju kamar sang bunda, untuk mengecek adik bunsunya itu.
Pintu terbuka, menampilkan sang adik yang masih pulas tertidur di atas ranjang bunda. Ara menghampirinya, duduk berhadapan dengan sang adik yang masih berada dalam alam mimpinya. Ara merunduk, mencium kening dan pipi, Nizam. Memperhatikan wajah polos sang adik, tak terusik sama sekali dengan kehadiran serta kecupan yang diberikan ila.
"Nizam harus bahagia, Nizam harus kuat, apapun yang akan Nizam hadapi suatu saat nanti, Nizam ga boleh lemah. Mungkin terlalu dini, untuk mba Ara bilang seperti ini untuk Nizam. Tapi, mba berharap, Nizam selalu baik-baik saja dimanapum Nizam berada. Mba Ara, akan jaga Nizam sampai kapanpun." Ucap ila dalam hati.
Masih setia menatap wajah polos sang adik, tiba tiba David datang.
"Mba Ara, dipanggil bunda. Ayo sarapan." Kata David di depan pintu kamar bunda."Hhhhmmm, let's go." Seru Ara, berjalan menghampiri David.
Sampai di meja makan, ternyata sudah ada ila yang duduk dengan wajah yang masih terlihat ngantuk.
"La, tadi mandi kan?" Tanya Ara.
Ila menoleh ke arah, Ara. "Mandi mba, masa enggak." Celetuk ila malas. Pasti mba nya mau meledek, tebak ila.
"Kok, kaya keliatan nggak mandi, ya." Benar dugaan ila. Mba nya mulai menyebalkan.
Ila tak menjawab, hanya menatap sinis mba nya yang pagi-pagi sudah menyebalkan.Sarapan berjalan lancar, tanpa suara.
Selesai sarapan, David maupun ila, bangkit untuk pamit berangkat ke sekolah."Bunda, mba Ara, David berangkat, ya." Pamit David, menyalimi tangan bunda dan Ara.
"Ila, juga ya bunda, mba Ara." Pamit ila
Selesai berpamitan, mereka berjalan beriringan menuju garasi. Tempat dimana motor mereka terparkir.
Sekolah ila, tidak terlalu jauh. Hanya menempuh waktu sekitar 15-20 menit dengan sepeda motor. Sedangkan David, jarak dari rumah ke sekolah sekitar 30 menitan.
Bunda dan Ara masuk ke dalam rumah. Menutup pintu. Ara kembali menuju dapur, membereskan kembali dapur dan meja makan. Bunda menghampiri Ara.
"Ara, bunda ke kamar dulu ya. Mau beres-beres. Sekalian, bunda mau ke rumah makan. Mau cek keadaan disana." Ya, bunda Ara memiliki usaha rumah makan. Tidak terlalu besar. Tapi, selalu ramai pengunjung. Dulu hanya satu, tapi sekarang sang bunda berhasil membuka 3 cabang.
"Kalau Ara capek, ga usah di beresin gapapa. Nanti ada mba Ani." Tambah sang bunda."Gapapa bund, Ara juga ga ngapa ngapain." Jawab Ara.
"Yaudah kalau memang Ara gapapa. Bunda mau bangunin Nizam."
"Iya, bunda." Jawab Ara. "Oo iya bunda, Ara mau minta izin pergi sama Joshua ya, bunda." Ara meminta izin pada bunda.
"Iya, gapapa." Bilang Joshua, jangan sampai anak bunda lecet ya." Gurau bunda.
"Nggak dong, Bunda. Joshua selalu jagain Ara, kok." Jawab Ara.
Bunda tersenyum menanggapi.
Ketika bunda nya melangkah, menuju kamar, Ara berbalik untuk membereskan kekacauan rutin yang dibuat pagi pagi..
.
.
Waaahhhh, padahal niatnya mau sekalian kasih flashback. Tapi ga terasa sudah 900+ kata.
Next chapter readers kesayangan nona....
Nona juga mau kasih senyuman manis shuayang nya Ara nih. Siapa tau, dengan senyuman manisnya shua, reader jadi semangat menjalani hari Senin.
To be continue, readers . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION
Teen FictionAra menyembunyikan semuanya. sedih, marah, kecewa menjadi satu. Dia ingin marah pada takdir, tapi itu percuma! Ara tau, "yang digariskan untuknya tak akan pernah dia lewati. Sedangkan yang tidak digariskan untuknya, perjuangan sebesar apapun tak aka...