Terima kasih sudah menjadi bahagia dari semoga dan aamiin dari semoga yang paling serius ku panjatkan. Menjadi penyembuh yang paling ampuh. Menjadi bagian dari kisah yang tak pernah ku ketahui.
Harap ku, ketika akhir dari cerita kita usai, bahagia akan selalu menyertai dimanapun kaki mu dan kaki ku berpijak.
* * *
"Makan nasi gitu maksudnya Ra" ralat Joshua
"Nanti aja, tadi gue udah makan. Tapi kalo lu mau makan nasi, beli aja buat lu dulu." Tolak Ara
Hening.
Ara dengan pikirannya yang tidak bisa dijabarkan. Dan Joshua dengan perasaannya yang bercampur aduk.Joshua menatap Ara. Entah apa yang tengah mengganggu pikirannya.
"Kedip Joshua, ga usah ngeliatin gue kaya gitu." Celetuk Ara yang sadar jika ia sedang diperhatikan.Joshua tersenyum diiringi dengan kekehan, "kayanya, gue tau deh kenapa lu suka dandelion."
Ara menoleh cepat ke arah Joshua. Menatapnya penuh tanda tanya. "Ga usah sok tau, dan ga usah asal tebak, ya." Ara mendelik malas
X
"Gue baru sadar satu hal"Ara menunggu kelanjutan dari ucapan Joshua.
"Sebenarnya, lu rapuh kan, Ra. Memaksakan diri untuk menjadi kuat." Tambah Joshua, dengan pandangan lurus ke depan.
Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Yang jelas, Ara tak suka jika dirinya dibaca seseorang. Tak terkecuali, Joshua. "Apa si, Joshua. Tiba-tiba banget. Mau jalan-jalan ga?" Ara mencoba mengalihkan. Mengindar dari pembahasan tentang dirinya.
Joshuaemutah matanya malas, "bisa kali ini nggak usah ngelak?" Joshua tau, kalau Ara mengajaknya berkeliling hanya untuk menghindar dari ucapannya barusan.
Ara diam , dengan pandangan masih tertuju pada banyak orang yang berlalu lalang diluar tenda.
"Coba terbuka dengan apa yang lu rasain, ya Ra. Nggak usah dipendam." Tutur Joshua dengan tatapan tepat mengarah pada manik Ara yang sedang menatapnya. "Lu boleh bersikap layaknya anak kecil didepan gue, bunda, maupun keluarga lu, Ra. Tolong tunjukkan jati diri lu yang sebenarnya." Tambah Joshua.
Ara mengalihkan pandangannya, "gue emang kaya gini adanya, Joshua." Sahut Ara.
Joshua menatap sinis Ara. Seolah sangat tau betul semua tentangnya.
"Kalau lu mau nangis, silakan, Ra. Lu boleh pura-pura kuat didepan orang lain. Tapi, nggak didepan gue, bunda dan adik-adik lu." Lagi, Joshua masih tetap mencoba agar Ara menyampaikan perasaannya."Joshua, gue nggak tau, gue egois atau gimana? Tapi yang jelas, semisal ayah dan bunda balik/rujuk, gue nggak mau tinggal di rumah." Ara menunduk dengan air mata yang sudah menggenang.
Tepat sekali dugaan Joshua. Ara memendamnya. Mungkin perasaan kecewa masih mendominasinya. "Gapapa Ra, gue ngerti, kok. Nangis aja, Ra. Gue disini, Ra." Joshua mendekat, menepuk pelan punggung Ara. Menyalurkan ketenangan untuknya.
"Gue kesel, Joshua. Gue kecewa. Gimana bisa, disaat bunda khawatir dengan keadaannya ayah, denger kabar ayah sakit aja bunda langsung panik. Tanpa nanti, langsung berangkat datengin ayah, ke rumah sakit. Tapi, apa yang bunda dapat? Ayah bahkan nggak merasa risih dekat dengan wanita itu. Bahkan ayah nggak liat, gimana hancurnya, bunda. Gimana perasaan bunda?. Sialnya gue jadi saksi antara kelakuan ayah yang ga bener. Dan lagi, gue nggak tau sejauh apa hubungan ayah sama wanita itu dibelakang bunda?." Tangisan Ara pecah. Dia hanya ingin, ada seseorang yang mengerti dirinya. Setidaknya untuk sedikit melegakan sesak yang ia rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION
Teen FictionAra menyembunyikan semuanya. sedih, marah, kecewa menjadi satu. Dia ingin marah pada takdir, tapi itu percuma! Ara tau, "yang digariskan untuknya tak akan pernah dia lewati. Sedangkan yang tidak digariskan untuknya, perjuangan sebesar apapun tak aka...