Terima kasih telah memberikan cahaya ditengah gelapnya harapan
Terima kasih telah hadir menghidupkan kembali warna yang telah mati
Terima kasih telah menerima kurang ku
Terima kasih telah menguatkan ku dalam segala hal yang membuatku patahKamu adalah salah satu bentuk bahagia yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata
* * *
"Gue paham, lu enggan buka hati untuk seseorang yang mendekat ke arah lu, karna masalah ini, kan? Termasuk gue." Joshua menatap manik Ara, dengan tatapan sendu.
Ara menoleh cepat ke arah Joshua. Ia cukup terkejut mendengar penuturan, Joshua.
"Gue tau, ucapan gue selalu lu anggap sebagai candaan aja. Tapi faktanya, ga semua ungkapan itu bercanda, Ra. Gue tau lu trauma. Gue akan tunggu sampai trauma lu membaik. Gue nggak akan tinggalin lu, gue akan selalu ada disisi lu, sampai lu nggak terbayang lagi dengan kesalahan yang ayah lu perbuat. Bahkan sampai lu mau terima gue." Joshua menatap Ara lekat.
Tatapan Joshua sendu. Tidak. Joshua hanya meringis. Ia merasa bahwa usahanya meyakinkan Ara akan memakan waktu cukup lama.
Joshua menyadari bahwa dirinya membutuhkan Ara. Ia cukup meyakinkan dirinya selama 3 tahun bersama Ara. Joshua kira, hanya sekedar rasa kagum semata. Tapi nyatanya, Joshua jatuh pada sosok Ara.Fakta yang Ara alami tak membuat perasaannya memudar. Justru membuatnya semakin meyakinkan diri bahwa ia mampu meyakinkan Ara, tidak semua laki-laki itu sama.
Joshua tidak bisa menahan untuk menyembunyikan perasaannya lagi.
Memendam perasaan bukan hal yang mudah untuknya. Terlebih, ia rasa sudah cukup untuk membuktikan seberapa dalam perasaannya terhadap Ara. Ia juga tau, resikonya akan seperti ini.Ara bingung, takut, tidak tau harus menanggapinya seperti apa. Ini terlalu tiba-tiba, hingga Ara tidak bisa menjawabnya. Ia hanya menatap Joshua yang ternyata juga sedang memperhatikannya, "Joshua, gue bingung. Gue belum selesai dengan masalah di masa lalu. Lu jelas tau, apa itu. Gue takut menilai lu dengan berbagai rasa curiga. Dan lagi, gue cukup kaget." Jelas Ara di tengah kebingungannya.
Joshua memejamkan matanya sejenak, "maaf, Ra. Kayanya ga pas, ya. Nggak seharusnya gue gegabah. Tolong jangan nilai gue yang macem-macem, ya. Jangan menghindar, jangan jadi canggung. Yang harus lu tau, gue nggak akan pernah tinggalin lu. Kalau ada apa-apa, tetap hubungi gue, ya." Joshua khawatir Ara menjauh darinya.
Ara menatap joshua. Memberikan senyum manis yang membuat Joshua tanpa sadar ikut tersenyum. Ara pikir, tidak ada salahnya memberitau Joshua tentang satu hal.
"Joshua, kalau gue boleh jujur. gue bersyukur banget, Tuhan hadirin lu untuk orang yang macam gue. Nemenin gue, hibur gue, selalu ada buat gue. Katakanlah gue bergantung banget sama lu. Tanpa lu tau, gue berkali-kali ngucapin kata terimakasih sama lu. Kalau aja bintang bisa gue ambil untuk mengucapkan rasa terima kasih gue ke elu, pasti udah gue ambil buat lu. Ada banyak hal yang belum bisa gue ungkapin. Sejauh ini, gue minta sama Tuhan, untuk selalu memberikan rasa bahagia dimanapun kakinya berpijak. Sekalipun bukan karna gue." Ara menatap Joshua tulusJoshua terharu mengetahui fakta itu. Ia tidak tau. Biasanya, Ara selalu bersikap acuh, menyebalkan, dan selalu membuatnya naik darah.
"Ra, kita hadapi sama-sama masalalu lu, ya. Kita cari tau, apa maksud ayah yang kembali lagi ke rumah. Termasuk masalah ayah tiri lu." Joshua menatap Ara lekat. Tanda bahwa, Ara bisa mengandalkannya kali ini.
.
.
.
Joshua jangan bisanya buat anak orang baper. Awas aja kalau nggak mau tanggung jawab.
Sabar yaaa readers kesayangan nona. Maaf agak sedikit pendek, nona sengaja, kok. Hehehhehe.
To be continue . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION
Teen FictionAra menyembunyikan semuanya. sedih, marah, kecewa menjadi satu. Dia ingin marah pada takdir, tapi itu percuma! Ara tau, "yang digariskan untuknya tak akan pernah dia lewati. Sedangkan yang tidak digariskan untuknya, perjuangan sebesar apapun tak aka...