Chapter 18 Dandelion

5 2 0
                                    

Semesta tau, aku mencintai mu
Semesta tau, aku merindukan mu
Bahkan, semesta tau, aku tak bisa bersama mu.
Tapi, bolehkah aku memaksa semesta, agar kita bersama?
Memaksa semesta, agar tak memisahkan kita
Memaksa semesta untuk menyatukan kita

Jika kebersamaan kita tak mungkin, maka, biarkan aku tetap mencintai mu, meski tak memiliki mu

.*. *. *.

Bunda datang membawa obat serta air mineral untuk keduanya. Meletakan diatas meja tak jauh dari jangkauan Joshua.

"Bunda, biarin Ara kaya gini dulu ya. Bunda, percaya kan sama, Joshua." Izin Ara pada bunda, agar Joshua tetap memangku kapalnya yang terasa sedikit pening.

"Hhhmm, bunda percaya sama, Joshua. Tapi, Joshua jangan lupa bilang papah, supaya papah gak khawatir." Bunda mengingatkan Joshua, "jangan lupa, kalau panas Ara semakin panas, panggil Bunda, ya." Tambah bunda. Setidaknya, saat ini Ara ada yang menjaga. Sembari, bunda juga menenangkan hatinya.

"Siap, bunda. Bunda istirahat aja, jangan khawatir, Ara aman sama, Joshua." Joshua meyakinkan bunda.

"Kalau butuh cemilan, ada dilemari cemilan, ya. Bunda ke kamar dulu." Bunda pamit pada Joshua dan Ara.

"Iya, bunda" jawab keduanya.

Bunda beranjak dari tempatnya menuju kamar.

Tangan Joshua setia memegang kompres es batu pada pipi, Ara. Ara merasa, udara semakin dingin, namun ia enggan beranjak untuk sekedar ambil selimut dikamar. Ia juga tidak mau Joshua, beranjak dari tempatnya. Karna, sungguh, Ara masih sangat nyaman. Ia sedari kepergian bunda, memejamkan matanya.

"Ra, minum obatnya dulu, yuk." Joshua mencoba bujuk Ara, agar ia mau meminum obatnya. Joshua tau, Ara itu anti obat. Lihatlah, bahkan obatnya berbentuk cairan sirup.

"Hhhhmm, nanti" jawabnya tetap tidak membuka matanya.

Joshua mengganti kompresan pertama, karna sudah mencair. "Ra, sebentar aja, kok. Abis itu, lu tidur lagi gak gue ganggu, deh. Sekalian, gue ambilin selimut dulu buat lu". Joshua kembali menempelkan kompresan es batu baru pada pipi, Ara.

Tak ada jawaban dari, Ara.

"Aaaahhhkkk, Joshua!" Pekik Ara, membuka cepat matanya. Menatap tajam Joshua. Ia, dengan sengaja menekan sudut bibir Ara yang robek, agar Ara meresponnya. "Makanya, jangan diem aja". Kesal Joshua.

"Kan, tadi udah gue jawab. Tapi, lu masih maksa gue." Jawab Ara malas.

"Biar nanti, gak gue bangun bangunin lagi. Jadi, abis minum obat langsung tidur, Ara." Jawab Joshua masih sambil memaksa Ara untuk minum obatnya. Jika tidak, maka besok pagi, badan Ara akan semakin panas.

Bukannya bangun, Ara malah merubah posisinya. Menyembunyikan wajahnya pada perut Joshua. Tapi, tetap membiarkan pipi kirinya terlihat, agar Joshua tetap bisa mengompresnya. Ia meringkuk seperti janin. Bagaimana tidak, ia merasa dingin, namun suhu tubuhnya terasa sedikit panas, bukan hangat lagi.

"Astaga, David. Ngagetin aja" pekik Joshua terkejut. Bagaimana tidak? Tiba-tiba David datang menyodorkan 2 selimut dan 2 bantal pada Joshua, tanpa bicara. Joshua pikir, David sudah tidur.

Ara sempat terkejut karna pekikan Joshua. Namun, ia enggan bergerak dari posisinya. Ara tau kalau David dan ila mendengar semua percakapan yang para orang dewasa bicarakan. Ara sempat melihat ila yang menghampiri kamar David secara diam-diam, sejak awal bunda sedikit berteriak pada ayah. Itulah sebabnya, ara menahan Joshua. Ara tebak, ila menangis dalam pelukan David hingga tertidur. Karna, Ara tau bahwa ila tidak bisa mendengar suara bentakan. Terlebih ketika orang tuanya bertengkar, maka ia akan menutup telinganya rapat-rapat, atau mencari tempat berlindung.

Joshua meraih selimut dan bantal yang disodorkan David padanya. "Terima kasih, ya." Joshua tak lupa mengucapkan terima kasih pada David. Membentangkan satu selimut untuk dipakaikan pada Ara, yang tak bergerak sama sekali dari posisinya. David pun membantu Joshua menarik selimut untuk menutupi kaki Ara yang masih terlihat, karna Joshua tidak sampai.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Joshua pada David.

"Kebangun, kak" jawab David. "Tadinya mau ambil air minum, tapi David liat mba Ara tidur. Sekalian David bawain selimut. Pasti, mba Ara gak mau bangun, ya" tambahnya.

Joshua hanya terkekeh mendengar alasan, David. "Kenapa tidak mau jujur, sih?" Batin Joshua. Ia tau kalau David belum tidur. Karna, matanya tidak menunjukan khas seseorang saat baru bangun tidur sama sekali. David juga tidak menanyakan keadaan, Ara. Hanya memberikan selimut tanpa sepatah kata pun. Yang artinya, ia sudah tau apa yang terjadi pada, Ara. Ia juga tidak merasa heran, kenapa bisa ada kompresan es batu dimeja. Begitulah pikir, Joshua.

"Yaudah, ya. Kak, David mau balik lagi ke kamar." Pamit David pada Joshua.

"Lain kali kalau mau bohong, yang pinter dikit, ya." Celetuk Joshua, yang membuat David sedikit terkejut, karna ketahuan.

"Ketara banget ya, kak?" Tanya David berdiri dari duduknya.

Joshua mengangguk "besok bicara, ya sama Ara, kalau khawatir". David terlalu mudah dibaca bagi Joshua.

"Iya, kak. David keatas, ya. David, titip mba Ara, ya kak." Kata David berpesan ada Joshua. Ia ingin Ara selalu mendapatkan perlindungan, meski bukan dari David, yang notabenenya adalah adik kandung, Ara.

"Siap" jawab Joshua.

David benar-benar melangkah meninggalkan Joshua dan Ara. Joshua menyandarkan badannya pada sandaran sofa, menghela napasnya pelan. Tangannya tak lagi mengompres pipi, Ara. Melainkan, mengusap pelan rambut, Ara. Matanya menatap langit-langit ruang tamu, mencerna apa yang malam ini ia saksikan. Jam sudah menunjukan puku satu dini hari, tapi matanya enggan terpejam untuk tidur. Entahlah, ia berfikir bahwa, Ara terlalu kuat untuk berada diposisi seperti ini.

Ara yang berada pada posisi nyamannya, sebenarnya tidak tidur. Ia memikirkan bagaimana keadaan ila, bagaimana perasaan David, dan sehancur apa hati bundanya.
Ia meneteskan air matanya ketika otaknya memutar kembali kejadian hari ini. Bagaimana ayahnya yang berbohong, membentak bunda juga dirinya, bahkan sampai menamparnya. Hatinya benar-benar kecewa, dan hancur disaat yang bersamaan. Ia sebenarnya sadar, bahwa bunda selalu meyakinkan dirinya kalau ayah tidak seburuk yang ada dalam pikirannya. Namun hari ini, kenyataan mengungkap semuanya.

Joshia yang merasakan bajunya basah pun, segera menunduk. Ara menangis diam-diam. Ia menyentuh bahu Ara, membalik posisinya agar mau menghadapnya.

"Joshua" lirih Ara, ketika ia menatap Joshua yang masih berada pada posisinya.

"Hhhmmm" joshua bergumam sebagai jawaban. Tangannya mengusap kepala Ara lembut tanpa henti, matanya menatap Ara teduh. Menyalurkan ketenangan untuk Ara yang mungkin sedang kalut.

"Pelik banget ya, rumah tangga orang tua gue." Katanya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tuhan menguji seseorang, sesua dengan kesanggupannya, Ra." Kata Joshua mencoba menenangkan, Ara.

.

.

.

Wahhhhh, kayanya Joshua dan Ara akan membicarakan sesuatu yang sangat mendalam nih readers.

Kira-kira, tanggapan Joshua seperti apa, ya?
Selamat beristirahat para readers kesayangan nona. Semoga semua selalu sehat ya, selamat hari liburan juga. Bahagia selalu untuk kalian yang sedang menghabiskan waktu bersama keluarga, pacar, sahabat, serta orang terdekat yang kalian sayangi.


~ To be continue ~

~ To be continue ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DANDELION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang