Chapter 9 Dandelion (last flashback)

14 2 0
                                    

Selalu ada batas dari setiap perjalanan. Pasti akan ada kata selesai dari sesuatu yang dimulai. Sudah saatnya untuk menerima, sudah saatnya untuk merelakan suatu perpisahan yang berhasil menghampiri kita.

Meski sulit, tapi harus!
Hidup akan terus berjalan, meski kita sudah tak sejalan.

* * *

Tante bangun dari duduknya, menghampiri ayah, "Lo gila ya her" teriak Tante. Benar benar diluar dugaannya. "Istri Lo udah kasih kesempatan. Dimana otak Lo?. Anak-anak Lo sudah beranjak dewasa. Apa kata temannya nanti tentang ayahnya yang brengsek ini?" Tambahnya masih dengan emosi yang menggebu. Tak habis pikir dengan sang kakak. Tante menarik pelan tangan Mbah, keluar dan meninggalkan rumah.

Tersisa kakek, nenek, Ara, David, bunda, tentu saja sang ayah yang masih ada disana. Mungkin ingin menyampaikan sesuatu?

Seakan mengerti, kakek dan nenek pergi meninggalkan keluarga kecil yang terlihat kacau itu.

Ayah duduk dihadapan bunda, "maaf, saya belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu, banyak kurangnya, bahka tanpa sengaja maupun disengaja saya menyakiti kamu." Ucap ayah lirih, menatap bunda yang hanya melihat lantai dengan tatapan kosong.

Ayah beralih menatap David dan ila bergantian, "ara, David maafin ayah telah memberikan kenangan yang tidak berkenan untuk kalian kenang. Maaf, menyakiti Ara. Dan, David, ayah mohon jangan contoh perbuatan ayah suatu saat nanti." Ucap ayah kepada anak anaknya kecuali ila yang masih dirunag nenek.

Ara masih tetap diam, bunda dan David juga demikian. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga ayah bangkit dari duduknya, kemudian mengambil kembali tas berisikan baju yang sempat  ditinggalkan itu. Berjalan keluar, memasuki mobilnya, dan melajukan mobilnya hingga menghilang dipertigaan jalan.

David dan ila saling pandang. Sedangkan bunda, kembali menangis.

Entahlah, mereka cukup terkejut dengan keputusan sang kepala keluarga itu.
Benarkah ia meninggalkan rumah?
Meninggalkan anak-anaknya?
Meninggalkan wanitanya yang selalu kuat dang tegar, serta sabar menghadapi segala sikapnya?
Benarkah ia memilih wanita yang belum lama ia kenal ini?
Begitulah kira-kira isi kepala mereka.

Sejak saat itu, masalah terus datang. Sejak sang ayah memutuskan hengkang dari rumah. Bunda yang terlihat sangat kacau, dan adik bungsunya yang selalu menanyakan kabar sang ayah.

Rasanya, Ara belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi dalam situasi seperti ini. Ia masih bingung, siapa yang salah? Siapa yang patut disalahkan.


Flashback off

Joshua menatap Ara dengan tatapan sendu. Ia memang tak ada diposisi Ara, tapi kenapa rasanya sakit saat mendengar Ara mengeluh tentang masalahnya dengan sang ayah. Memang tak ditunjukan secara gamblang, tapi Joshua cukup paham bahwa Ara merasa sakit yang mungkin tak ada obatnya.

Joshua tersenyum samar. Ia sangat tau betul bagaimana ceritanya. Karna Ara sudah lebih dulu bercerita padanya. "Lu harus yakin Ra. Pelan-pelan lu maafin ayah lu. Sedikit demi sedikit rasakan kehadirannya. Ga usah memaksakan diri. Yang terpenting hati lu lapang dan ga tertekan." Ucap Joshua menasihati Ara.

Joshua tidak ingin Ara merasa terbebani dengan masalah yang belum rampung selama beberapa tahun ini.

Ara hanya menunduk. Tak tau harus merespon apa, atas ucapan Joshua. Ia juga maunya seperti itu. Tapi entahlah, hatinya terasa sangat berat.dan lagi, ia adalah saksi atas perselingkuhan yang ayahnya lakukan.

Ara mendongak, "tapi shua, bukannya ayah keterlaluan, ya? Setelah bertahun tahun ninggalin rumah, trus balik dan seolah ga terjadi apa apa?" Heran Ara pada ayahnya yang mudah sekali melupakan kejadian yang amat menyesakan itu.

"Ra, ga ada salahnya mencoba untuk memaafkan. Selagi lu masih punya kesempatan untuk lihat kedua orang tua Lu. Emosi lu masih bisa lu tahan. Tapi kalau raga nya udah ga ada, jangankan mau liat senyumnya. Mau liat wajahnya aja, ga bisa." Ucap Joshua sendu, seketika mengingat mendiang sang ibu.

"Gua akan coba shua. Tapi gue juga ga yakin, kapan gue akan mulai menerima kehadiran ayah gue lagi."

"Gapapa, Ra. Gue ngerti. Emang ga mudah. Lu hebat, bisa lalui semuanya. Maaf gue terlambat hadir dikehidupan lu." Ucap Joshua mencoba menenangkan Ara. "Gue bangga, karna lu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh." Tambahnya jujur.

Ara tersenyum. Joshua tidak menghakimi nya. Joshua menerima apapun keputusan Ara. Joshua memberikan saran, tapi tak pernah memaksa sarannya harus dijalankan.

Lagi-lagi, Ara menggumamkan rasa syukur atas hadirnya Joshua.
Joshua memang bukan obat penghilang rasa sakit, tapi Joshua adalah obat penghilang rasa nyeri.

Joshua masih menatap Ara, kini dengan senyuman yang merekah pada wajah manisnya. "Ra, mau beli makan?" Tanya Joshua.

Ara menatap Joshua lekat, "lu ga liat ni makanan masih banyak?" Ucapnya datar sambil menunjuk makanan yang masih banyak itu.

"Makan nasi gitu maksudnya Ra" ralat Joshua

"Nanti aja, tadi gue udah makan. Tapi kalo lu mau makan nasi, beli aja buat lu dulu." Tolak Ara

Hening.
Ara dengan pikirannya yang tidak bisa dijabarkan. Dan Joshua dengan perasaannya yang bercampur aduk."

.

.

.

.

Malam readers selamat menikmati karya nona ya.... Silakan baca ya readers.

Maaf nona up ditengah malam.

Selamat istirahat, semoga bahagia menyambut hari esok

.
.
.

To Be Continue . . .

DANDELION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang