1. Kenalan

4.5K 327 47
                                    

Sera suka merangkai kata, menuang kisah tidak nyata pada lembar-lembar kertas. Sera menciptakan karakter, membangun konflik, mengakhirinya dengan ending bahagia. Selalu begitu. Itu, adalah cara Sera menghibur diri.
Di dunia yang banyak nelangsanya ini, ia membutuhkan wadah untuk menumpahkan angan-angan, untuk balas dendam pada realita yang tidak sesuai keinginan. Menulis merupakan cara Sera mengobati kekecewaan atas takdir semesta. Jemari perempuan itu melahirkan tokoh-tokoh utama dengan kepribadian hangat, tumbuh di tengah keluarga harmonis, miliki kehidupan yang nyaris sempurna—berbanding terbalik dengan kehidupan Sera. Ia percaya jika kebahagiaan itu tidak dicari, melainkan dibuat, dan seperti itulah cara Sera membuat kebahagiaan.

"Halo, Bang?" Sera mengurut kening begitu suara ceria seorang lelaki dari seberang sambungan menggelitik telinga. "Ini gimana sih naskahnya? Hunting-nya yang bener dong, Bang. Aku pusing banget ini baru ngecek beberapa naskah doang tapi plot-nya bikin ngusap dada. Iya, aku paham di platform itu emang cerita dengan tema geng motor lagi booming, ya tapi cari yang normal dikit. Masa umur tujuh belas tahun udah S3, beliau ini sekolah sejak zaman zigot, 'kah?" Ia menghela napas sembari kembali membaca naskah yang terpampang di layar laptop. Suara cekikikan Hanafi—sohibnya di kursi sebelah—tidak Sera hiraukan. Sera terlalu pening sekarang.

"Tapi itu pembacanya udah jutaan, Ra. Cuan itu!" balas Remi. "Kalau ada hal-hal yang kurang masuk akal ya itu tugas lo buat benerin, dong. Udah, ya. Gue mau maksi, nih. Misal lo dapet naskah yang kelewatan nggak masuk akalnya, lempar aja ke si Hanafi. Dia paling seneng tuh obrak-abrik naskah begitu." Lantas dengan semena-mena Remi memutuskan sambungannya.

Sera melongo sambil memandangi layar ponsel, sangat takjub dengan Remi yang pikirannya cuma tentang cuan dan cuan, mengesampingkan kualitas tulisan itu sendiri. Namun, di saat bersamaan Sera bisa memaklumi mengingat mereka adalah karyawan dari perusahaan penerbitan. Kualitas sebuah karya jadi nomor dua, yang utama adalah popularitasnya. Naskah bisa dirombak sebelum naik cetak, tetapi untuk menggaet atensi jutaan pembaca adalah keberuntungan yang tak semua penulis mendapatkannya.

Sera menggeser kursinya ke sisi kiri, membentur pelan kursi Hanafi. Sera mendapat decakan keras dari lelaki yang telah menjadi temannya sejak awal masa kuliah hingga memasuki dunia kerja bersama itu, tetapi Sera tak peduli. Jika Sera dilanda pening di tengah-tengah melakukan pekerjaan, merecoki Hanafi merupakan solusi.

"Kenapa di zaman di mana banyak flatform nulis yang bisa ngasih duit gede, masih aja banyak penulis yang mau nerbitin buku ya, Han?" tanya Sera, sebab ia sebagai penulis lebih suka menaruh karya-karyanya ke flatform menulis berbayar ketimbang mencetaknya jadi buku fisik. "Royalti yang didapetin penulis dari nerbitin buku tuh kecil banget, gue ngerasa itu gak sepadan sama effort yang udah mereka lakuin. Mereka deserve better."

Hanafi melirik sekilas, terkekeh pelan. Ia tidak menyahuti, memilih untuk membiarkan Sera mencari jawaban atas tanya tersebut dalam lamunannya sendiri. "Makan apa, ya?" gumamnya setelah melihat jarum pendek jam di pergelangan tangan menunjuk angka dua belas. Ia menoleh kanan-kiri, lalu mengangguk saat beberapa orang mengajaknya keluar untuk makan siang. Di ruangan kini hanya tersisa dirinya dan Sera saja. "Makan apa?"

Sera menoleh, menyatukan tatapan dengan Hanafi. "Menurut lo kenapa?"

Bola mata Hanafi berotasi malas. "Ra, gue laper, nggak bisa mikir. Mending naspad atau gacoan? Atau mie kocok?"

"Jawab dulu," tuntut Sera.

"Ya mana gue tau."

"Kok lo gak tau?"

"Apa urgensinya gue harus tau?"

Sera mencebik sebal, Hanafi malah tertawa seusai menyentil kening perempuan itu. Di saat mereka hampir beranjak dari kursi, satu suara tiba-tiba terdengar dari balik punggung keduanya, bikin Hanafi dan Sera refleks memutar kursi mereka.

[✓] KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang