Suara ketukan pada daun pintu yang disusul panggilan pelan dari Januar memaksa Sera bangkit dari ranjang. Dalam balutan kaos hitam oversize dan bawahan piyama motif Sinchan, perempuan itu melangkah gontai menuju pintu. Tak Sera pedulikan rambut yang acak-acakan, sakit di perut bagian bawah menyita seluruh fokusnya. Menstruasi di hari pertama berhasil menyedot semangat Sera.
"Widih," Sera memaksakan cengiran saat melihat Januar berdiri di balik pintu dengan pakaian rapi; kaos Polo hitam dipadu celana bahan warna putih. Rambut depannya yang tidak ditata naik seperti biasa memberi kesan kekanak-kanakan pada wajah tampan lelaki itu. Dapati aura lugu di diri Januar dalam look ini bikin Sera teringat kejadian semalam, dan tanpa sadar Sera tersenyum geli karenanya. "Masih pagi udah ganteng aja, Mas. Mau ke mana, sih?" tanya Sera sambil menggaruk-garuk belakang kepala yang mendadak terasa gatal sekali.
Kernyitan langsung timbul di kening Januar. Bukan, ia mengernyit begitu bukan karena melihat penampakan Sera yang khas bangun tidur banget, melainkan heran mendengar tanya perempuan itu. "Kayaknya kamu lupa, ya?" Ia mencoba memastikan, dan ketika Sera merespons dengan hah? yang dibarengi ekspresi kentara bingung, Januar mengangguk paham. "Tadi malam aku minta ditemenin ke Gramed, tapi kamu mungkin lupa?"
Mulut Sera langsung menganga, ia betulan lupa. Sejurus kemudian raut wajahnya tunjukkan penyesalan. Ia benar-benar tidak ingat. Sejak terjaga setengah jam lalu, yang ada di kepala Sera hanyalah bagaimana cara untuk melenyapkan denyut nyeri di perut. "Maaf, Mas. Lupa banget aku." Kedua telapak tangannya beradu di dada. "Tapi kalau kamu mau nunggu aku mandi dulu, nggak lama kok paling sejam—ayo aku temenin ke Gramed."
"Cancel aja, Ra. Wajah kamu pucet. Terus tumben juga jam segini kamu baru bangun. Kamu sakit?" Tatapan Januar berubah cemas, disadarinya ada yang tidak beres dengan Sera.
Sera terkekeh kecil. "Itu cancel karena khawatir sama aku atau karena kamu nggak mau nunggu aku dandan dulu? Aku becanda kok, Mas. Enggak sampe sejam, aku mandinya kayak capung."
Januar menggeleng. "Aku gak masalah soal nunggu, mau setengah hari juga kamu dandan aku tungguin. Cuma ini kamu kayaknya lagi enggak sehat—"
"Yang bener?" Sera nyengir tengil.
Sudut bibir Januar tertarik tipis. "Iya, Ra." Lelaki itu diam sesaat lantaran dilihatnya Sera mengernyit hebat sembari memegangi perut. "Kenapa? Kamu laper?" tanyanya, kecemasan terdengar jelas di suara lembutnya.
Sera mengibaskan satu tangan di depan wajah, cengiran masih hiasi wajahnya, isyaratkan diri baik-baik saja walaupun sejatinya sekarang ia ingin berbalik dan lompat ke kasur untuk kemudian berguling-guling.
"Aku lagi red days, Mas," bisikknya.Mulut dan mata Januar membulat sepersekian detik sebelum kemudian mengangguk-angguk paham. "Udah minum air anget?" Seingat Januar, Hanafi pernah bilang kalau Gemala menstruasi, Hanafi selalu menyuruh Gemala untuk meminum air hangat.
"Hoaks itu, Mas. Minum air anget gak bikin sakitnya mendingan," kata Sera.
"Kalau pakai Kinanti?"
"Ih tau-tauan Kinanti." Sera tertawa, menemukan itu sebagai hal yang lucu.
Sambil garuk-garuk tengkuk kikuk, Januar membalas, "Aku sering beliin itu buat Bunda." Iya, dulu, saat Januar masih SMA. "Kalau di kamu ngefek juga nanti aku beliin," tawarnya.
Sera buru-buru menggeleng. "Jangan, Mas. Aku nggak minum gituan. Kalau sakit gini ya dibawa nangis aja sambil guling-guling di kasur," aku Sera, tuai kekehan Januar. Sera ikut meloloskan tawa, tetapi terdengar agak kentara dibuat-buatnya—perutnya semakin sakit dan ia harap obrolan ini segera berakhir. Sayangnya Januar justru kembali menawarkan diri untuk melakukan apa pun itu yang bisa bikin sakit perut Sera mendingan. Padahal yang Sera butuhkan cuma Januar menyudahi konversasi ini dan membiarkan dirinya masuki kamar.
"Enggak usah, Mas. Beneran, deh."