Sera sungguh tak bisa meraba Januar itu orang yang seperti apa. Di balik sikap cueknya, ada sisi gila yang sulit dicerna logika Sera. Kejadian pagi tadi membuat Sera terdiam seribu bahasa, terkejut, dan kelewat bingung harus menanggapi bagaimana. Beruntung Januar tidak masuk kantor, hanya mengantarkan Sera sampai gerbang, setelahnya pergi entah ke mana. Sera bersyukur, setidaknya seharian itu ia tidak perlu kikuk menghadapi Januar. Sebab jujur saja, pengakuan Januar menempatkan Sera pada posisi serba salah. Bahkan saat Sera sudah unjuk keengganan pun, Januar malah makin ngotot, sampai urai kejujuran tentang perasaannya. Ibaratnya Sera mundur selangkah, Januar malah merangsek maju tiga langkah. Sera tersudutkan.
Terlebih lagi sekarang mereka satu kostan. Sungguh sebuah bencana. Dua puluh empat jam Januar berkeliaran di sekitar Sera. Ugh! Sera jadi merasa punya penguntit! Sangat meresahkan!
Sera tersenyum cerah menyambut kedatangan kekasihnya. Malam itu, setelah beberapa hari tidak bertemu, akhirnya Sera dapat melihat Jehian lagi. Seperti biasa, lelaki itu tampak tampan. Senyumnya yang sampai ke mata selalu menghangatkan hati Sera.
"Maaf ya bikin kamu nunggu," kata Jehian. Ia raih jemari Sera di atas meja, menggenggamnya, menuai senyuman malu-malu perempuan itu. Seolah-olah perbuatannya tak bikin jantung Sera jumpalitan, Jehian dengan santai mengorder makanan. Setelahnya mengarahkan fokus pada Sera. Ia terkekeh kecil mendapati rona merah di pipi sang kekasih. "Udah tiga tahun lho, By, kamu masih aja blushing kalau kita pegangan tangan," goda lelaki itu.
"Ya soalnya ini kamu, Mas, " balas Sera.
Jehian sedikit memiringkan kepala, semakin menjadi-jadi menjahili Sera. "Emang kalau itu aku kenapa, sih?"
"Kamu spesial." Sera cengengesan, bikin Jehian tergelak. "Kata Hanafi, seorang perempuan itu memulai hubungan dengan perasaan zero, seiring berjalannya waktu, cinta mereka bakal meningkat. Mungkin sekarang perasaan aku ke kamu udah sampai di angka sembilan puluh sembilan persen. Gimana, nih? Aku cinta banget, hehe. Tanggung jawab."
Di saat Sera sibuk meredam debaran jantungnya, Sera luput menyadari senyuman Jehian berangsur-angsur luntur. Menyeruak satu kilat sendu di mata lelaki itu. Namun, saat tatapan mereka bertaut lagi, Jehian segera menarik kembali sudut-sudut bibir.
"Sera," Jehian memanggil pelan, suara beratnya bersaing dengan melodi dari arah depan di mana live musik tengah dipertontonkan. Tatapan Jehian teduh seperti biasa, tetapi jika Sera lebih jeli lagi dalam menyelami kelembutan di mata itu, Sera bakal temukan sesuatu yang tak biasa. "Akhir-akhir ini aku struggling banget. Boleh cerita gak?"
Sera terkekeh. "Aku dengerin." Lalu ia menopang dagu dengan kedua tangan, memandang Jehian sarat kelembutan. Siapa pun yang melihat mata Sera, bahkan meskipun hanya sekilas saja, pasti akan tahu seberapa dalam Sera memuja lelaki di depannya. Ia telah menjatuhkan hati, sejatuh-jatuhnya.
Sayangnya sebelum sempat Jehian bercerita, fokus lelaki itu keburu terdistraksi oleh getaran di dalam saku bajunya. Jehian pun meminta Sera menunggu selagi dirinya angkat panggilan. Sera setia memandangi sang kekasih, tetapi tiba-tiba Jehian bangkit, bergerak samar bibirnya melepas kata-kata, "Aku ke toilet dulu, ya."
Sera cemberut, pura-pura ngambek, tetapi tentu saja ujung-ujungnya Sera mengangguk. Mata Sera terus ikuti punggung Jehian hingga akhirnya menghilang memasuki ruangan di pojok kanan bangunan. Sera bawa jatuh tatapannya pada minuman yang sisa setengah, meredup binar dalam matanya. Sekarang ia memahami, Jehian memang menyembunyikan sesuatu. Seumur-umur ia dan Jehian bersama, mana pernah Jehian harus sampai pergi hanya untuk menerima telepon dari seseorang. Seakan-akan apa yang hendak Jehian bahas dengan si penelepon adalah rahasia yang tak boleh Sera tahu. Kendati kecurigaan Sera dari hari ke hari kian membesar, tetapi Sera tidak punya keberanian untuk mencari tahu. Ia takut temui kebenaran yang akan menyakitinya.