Pagi ini Sera heran lantaran ketika membuka pintu, tumben-tumbenan tak Sera temukan eksistensi Januar di ambang pintu kamar seberang. Lelaki itu biasanya menyandarkan bahu di sana sambil bersedekap dada dengan penampilan yang sudah rapi dan bau parfumnya merebak ke mana-mana, menunggui Sera untuk berangkat bersama. Lantas, pagi ini ia ke mana?
Sera mengetuk-ngetuk pintu kamar Januar, tetapi tidak kunjung dibuka.
Di layar ponsel pun tak ada notifikasi dari lelaki itu, maka Sera yang ambil inisiatif menghubunginya. Agak lama bunyi tuut mengisi pendengaran Sera sebelum suara sengau Januar singgahi telinga. "Kamu baru bangun ya, Mas?"Januar malah menyuguhkan hening, hanya suara grasak-grusuk tak jelas yang menyahuti pertanyaan Sera.
"Mas?" Sera memanggil lagi, kali ini sampai melihat layar ponsel demi pastikan Januar belum mematikan sambungan, dan memang masih terhubung. "Answer me, please—" Perempuan itu sedikit berjengit kala pintu di hadapannya terbuka secara tiba-tiba, menampilkan sosok Januar dalam balutan pakaian yang semalam dikenakannya; celana training serta hoodie milik Hanafi. Sera mengernyit mendapati wajah Januar yang sedikit merona, bukan merona tersipu, lebih seperti sedang demam. Matanya juga tampak sayu. Ditambah saat bicara, suaranya terdengar berat dan serak.
"Sorry, Ra. Semalam aku sempat susah tidur, tapi pas bisa tidur malah susah bangun." Lelaki itu terkekeh parau.
Sera jadi teringat kejadian semalam yang amat memalukan di restoran. "Kamu demam ya, Mas? Gara-gara kedinginan semalam, nih. Gara-gara aku," gumamnya penuh penyesalan.
"Enggak, Ra, bukan gara-gara kamu. Emang lagi apes aja kita. Ya udah ayo aku anterin, keburu siang," ajaknya.
"Bentar!" Sera menggapai ujung kain hoodie Januar, membuat badan lelaki itu otomatis berbalik. "Kok anterin?"
"Ya anterin, soalnya aku enggak kerja hari ini. Udah izin sama Bang Jo juga."
"Kenapa?"
"Like you said before, I'm ill."
Sera menganga. "Terus kalau sakit kenapa mau anterin aku?" tanyanya tak habis pikir. "Mas, kamu enggak punya kewajiban untuk itu. Aku tuh nebeng, yang artinya numpang pas kamu juga ke sana. Kalau kamu sakit gini mah ya enggak perlu repot-repot anterin aku. Yang bener aja. Sana, mending istirahat aja. Aku bisa—"
"Enggak repot, Ra," sela Januar. "Ayo," ajaknya lagi, tetapi dilihatnya Sera tak beranjak, malah melayangkan tatapan cemasnya. Lelaki itu mengembuskan napas, terasa panas. Kepalanya juga semakin memberat—gawat, ia harus bergegas mengantarkan Sera sebelum pening yang mendera kening mampu menumbangkan kesadarannya. Maka demi yakinkan Sera jika sakitnya tak separah yang Sera bayangkan, Januar mengulurkan tangan, menawarkan sebuah genggaman. Tidak lupa satu ulas senyum tipis Januar sunggingkan.
Sera menatap tangan Januar sesaat sebelum melangkah mendekat demi eliminasi jarak. Tangan perempuan itu naik ke kening Januar, mengecek suhu tubuhnya. "Kan, anget ini." Sera bergumam kala telapak tangannya disapa hangat yang tak wajar. Ia pun bersedekap, menatap sinis Januar. Sera sebal pada kengototan Januar; ngotot mau mengantarkan padahal jelas-jelas kondisinya sedang tidak sehat. "Coba ngaca deh, Mas. Muka kamu tuh pucet banget, kena angin dikit nanti makin sakit. Udah, gak usah macem-macem mau nganterin aku segala. Mending sekarang kamu balik kamar, terus bobo. Kamu udah minum obat belum?"
Januar menggeleng. "Hanafi enggak nyimpen obat di kamarnya, Ra. Aku juga gak ada tenaga buat beli keluar."
"Tau gitu kenapa masih mau anterin aku?" Sera mulai mengomel macam emak-emak. Sera menghela napas, tersadar bahwa di hadapannya ini bukan Hanafi yang bisa Sera omeli dengan semena-mena. Ini Januar, lelaki yang notabene asing baginya.
"Di aku ada obat penurun panas, tapi kamu harus makan dulu. Kamu mau makan apa? Bubur? Nanti aku beliin."