Jangan jadi sider please.
***
Mata Sera menelisik dengan cermat berderet-deret aksara yang tertera pada kemasan masker wajah yang tersusun rapi di hadapannya. Ia kini berada di Sephora-surga dunia bagi para wanita. Nanti malam ia berniat menjenguk teman SMA-nya yang baru melahirkan, dan body care dipilihnya sebagai buah tangan. Namun, niat hati datang ke sini cuma untuk beli satu hal saja, tau-tau di genggaman sudah ada beberapa batang lipstick. Tidak bisa, Sera kesulitan menahan diri meski isi dompet pasti menangis keras setelah Sera sampai di kostan. Tidak apa-apa, menyesal biar jadi urusan belakangan.
Namun, saat perempuan itu sedang fokus-fokusnya, presensi dua orang di balik punggungnya menjadi distraksi.
Biasanya semua indra Sera mendadak tumpul akan sekitar jikalau fokusnya sudah tersedot sesuatu, tetapi untuk kali ini, untuk suara ceria seorang perempuan yang sesekali disahuti tawa kecil dari laki-laki-dua orang di belakang Sera-Sera tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Pendengaran dan penciuman Sera tiba-tiba saja jadi dua kali lebih tajam. Sera membeku selagi menduga-duga dan berharap dugaannya keliru. Akan tetapi wangi musk ini amat familier, suara tawa si lelaki juga rasa-rasanya sangat Sera kenali. Dan benar saja, saat si lelaki di balik punggung Sera melepas kata, Sera tahu ia tidak akan pernah salah dalam mengenali Jehian Mahardika.
Sedikit euforia yang menyala di dada Sera seketika padam, berganti dengan gemuruh memilukan. Waktu seakan melambat di sisi perempuan itu selagi terus mendengarkan konversasi dua orang di belakangnya. Tawa Jehian bak godam yang hantam kesadaran Sera, menyadarkannya, jika ternyata yang tak baik-baik saja hanya dirinya. Di saat Sera mati-matian membunuh rasa, dengan derai air mata berusaha meninggalkan setumpuk kenangan tentang Jehian, membiasakan diri hidup tanpa keterlibatan lelaki itu lagi-Jehian justru sedang bahagia bersama perempuan lain. Ternyata, yang dibelenggu pilu hanya Sera saja.
Tawa lepas Jehian itu dulu pernah jadi nyanyian yang paling Sera suka. Akan Sera cubit pucuk hidung Jehian tiap kali lelaki itu tergelak lantaran ekspresinya amat lucu. Namun, detik ini, Demi Tuhan, tawa Jehian dengan sadis merobek-robek ketabahan Sera, menjelma jadi bebunyian yang amat dibencinya. Ia benci tawa lelaki itu, tawa yang pernah selamatkan Sera dari sunyi yang dijatuhkan semesta ke kedua telinganya. Kini, tawa itu telah dimiliki perempuan lain. Makin jelas realita yang disuguhkan ke pelupuk mata Sera, perihal selesainya kisah asmara di antara dirinya dan Jehian.
Dengan gerakan lambat, Sera berbalik hanya untuk mendapati satu lengan Jehian melingkar mesra di pinggang ramping perempuan barunya. Kontan mengerat genggaman Sera pada tiga batang lipstick. Itu sungguh Jehian. Jehian yang pernah jadi Jehian-nya.
Sakit hati membuat kesadaran Sera terjun bebas ke dalam lamunan. Pada bisu yang membelenggu rungu, batin Sera gaduh bertanya-tanya; salahnya apa? Kurangnya di mana? Meskipun Jehian bilang jika putusnya hubungan mereka bukan karena salah Sera atau karena ada kurang diri diri Sera, tetap saja, sebagai pihak yang ditinggalkan Sera merasa ada yang salah di dirinya.
Dan ketika mata Sera masih arahkan tatap nanar pada lengan yang setia merengkuh rampingnya pinggang si perempuan, Jehian sedikit menoleh, lalu tak sengaja pandangannya kunci keberadaan Sera. Langsung memutar sempurna tubuh lelaki itu. Sera, yang mendapati Jehian tiba-tiba bergerak otomatis mengangkat pandangan, lalu terciptalah satu momen di mana dua pasang mata mereka bertemu dalam satu jalinan tatap. Hanya sendu yang mampu Sera suguhkan, sedangkan Jehian tampak kaget dan kemudian penyesalan menyeruak di matanya.
Untuk sepersekian detik yang senyap itu, yang hanya diisi sapa lewat tatap sarat duka, si perempuan di samping Jehian kontan mengernyitkan dahi, lantas menggenggam jemari Jehian. Si lelaki terenyak, buru-buru membawa genggaman itu ke balik pinggangnya. Sera, melihat itu, melepas kekehan.