Weker di atas nakas sudah tunjukkan jam sembilan, tetapi Sera belum juga beranjak dari kasur, bergelung dalam selimut tebalnya. Sejak semalam Sera demam sehingga memutuskan absen bekerja. Sera sudah menghubungi Bang Jo dan mengabari Januar tadi.
Ketika ponsel di dekat bantal lepaskan dering yang melibas sunyinya kamar, mau tak mau Sera menyibak selimut dan langsung mendesah panjang kala menemukan nama sang adik di layar. Sambil memejam, Sera mengangkat panggilan. "Halo, Ami—" Sera bahkan tak diberi kesempatan melempar sapa sebab di seberang sambungan Amira lebih dulu mengutarakan maksudnya menghubungi Sera; menyebutkan sejumlah nominal uang untuk beli ponsel baru, bikin Sera mengeratkan pejamannya. "Seminggu lalu Mbak baru kasih kamu uang buat bayar UKT lho, Mi. Mbak belum ada uang la—"
"Mbak, HP aku udah jelek, malu sama temen-temenku. Ayolah, Mbak. Aku kan sekarang gak bisa minta ke Ayah lagi. Mbak Sera juga udah janji bakal gantiin tugas Ayah jagain aku sama Mama, 'kan?" Gadis itu merengek macam anak kecil, sangat tak cocok dengan umurnya yang nyaris injak angka dua puluh. "Transfer nanti sore ya, Mbak? Aku tungguin banget, lho."
"Ami." Sera memanggil dengan nada lelah. "Kamu tau kan kerjaan Mbak gajinya gak gede? Oke, Mbak beliin, tapi jangan nanti sore juga. Beneran, deh, sekarang Mbak nggak ada duit sebanyak itu. Mbak minta maaf, ya?"
Balasan datang dalam bentuk cebikan keras. Sera memijit kening, bergerak pelan-pelan mendudukkan diri. Sera refleks memejam lagi lantaran objek yang dipandangnya berputar-putar. Efek demam saja sudah cukup bikin kepala Sera pening, ditambah Anemia yang dimilikinya. Mantap, bumi serasa gonjang-ganjing. Belum lagi rengekan Amira di seberang sambungan, seakan menjelma palu yang memukul-mukul kepala Sera, timbulkan denyut nyeri.
"Mbak, kamu jangan lupa seberapa banyak jasa Ayah ke kamu, ya. Dan setelah Ayah pergi, kamu yang harus gantiin beliau dalam nafkahin aku sama Mama. Inget, kamu punya utang kelewat banyak sama keluarga aku—"
"Amira." Suara Sera merosot jatuh, selaras dengan tatapannya yang jadi tajam. Ia meremas kuat selimut selagi berusaha menahan air mata dan rasa sesak di dada. Sera benci ketika Amira atau Mama menyinggung hal tersebut seolah-olah Sera tak pernah menjadi bagian dari keluarga mereka. Demi Tuhan, tanpa diingatkan pun ia akan mati-matian membalas apa yang telah Ayah dan Mama berikan kepadanya. Kendati mungkin tidak akan pernah cukup bahkan meski Sera habiskan seumur hidup untuk membalas budi, Demi Tuhan, ia akan berusaha keras. "Nanti sore Mbak transfer ya, Dek."
"Nah, gitu dong."
Lalu begitu saja, panggilan diakhiri. Tidak ada ucapan terima kasih atau sekadar basi-basi menanyakan kabar. Ah, Sera berharap apa sih terhadap keluarga yang tidak menganggapnya keluarga? Setelah Ayah meninggal, ia di mata Amira dan Mama tidak lebih dari sebatas orang asing yang harus seumur hidup membayar utang budi.
Perempuan itu menekuk kedua lutut, membenamkan wajah di sana. Sera menumpahkan air mata tanpa suara. Hening di kamarnya bahkan masih lebih gaduh dari tangisan Sera. Sepi yang mendekap punggungnya bahkan terasa lebih bersahabat ketimbang kenyataan bahwa sejak dilahirkan hingga sekarang, ia selalu ditinggalkan.
Sejak awal, Sera sendirian. Ia tak tahu rupa kedua orang tua kandungnya. Ia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan hangat peluk dari sang ayah biologis. Sera tidak tahu bagaimana teduhnya tatapan Ibu. Ramah senyum mereka, lembut suara mereka kala memanggil, halus jemari mereka ketika menyisir rambut Sera. Tak ada sedikit pun kenangan selain kepedihan. Sera kehilangan mereka persis di hari ia dilahirkan. Tidak, mereka tak pergi menemui kematian. Mereka pergi memenuhi keegoisan. Mereka melepaskan tanggung jawab, meninggalkan Sera di panti asuhan.
Hanya saja, meski mereka membuat Sera ada untuk kemudian ditinggal sendirian, Sera tetap mau menguntai banyak-banyak terima kasih. Sebab karena mereka, Sera dapat bertemu dengan Ayah. Seorang lelaki dengan hati yang isinya dipenuhi ketulusan. Lelaki yang menyelamatkan Sera dari getirnya rasa sepi. Lewat tutur kata lembut dan perangainya yang hangat, Ayah mendampingi Sera bertumbuh dan berkembang menjadi perempuan cantik yang senyumannya selalu Ayah bangga-banggakan kepada orang lain. Ayah lebih dari sekadar cinta pertama. Bagi Sera, Ayah adalah bentuk cinta yang sempurna. Bahkan meski katanya semua makhluk memiliki kekurangan, tetapi cinta Ayah tidak demikian. Kasih sayang Ayah kepada Sera melebihi kesempurnaan yang ada. Akan Sera hargai dan kenang selamanya. Tidak akan ada lagi lelaki sebaik beliau.