Sudah sejak jauh-jauh hari Sera membayangkan momen ini; Jehian melepas pegangan tangannya. Akan tetapi begitu betulan terjadi, dunia Sera seketika runtuh. Pernah Sera mendengar dari seseorang, bahwa menjadikan manusia sebagai rumah adalah sebuah kesengajaan untuk menyakiti diri. Tidak Sera sangka bakal semenyakitkan ini rasanya.
Berderet-deret kalimat yang Jehian kirim lewat pesan, terbayang-bayang, memukul-mukul dinding kepala Sera. Setiap katanya menusuk hati dengan kekuatan tidak tanggung-tanggung. Ia hanya tidak mengerti kenapa harus lewat chat Jehian memutuskannya. Tiga tahun kebersamaan mereka, apakah tak sedikit pun membekas di benak Jehian? Di saat setiap detiknya terasa begitu berharga bagi Sera, apa Jehian tidak merasakan hal serupa?
Ciuman pertama mereka dua tahun lalu di teras rumah Sera, saat kali pertama Jehian mengantarkannya. Lalu tentang pegangan tangan yang tak pernah gagal membuat dada Sera berdebar, bahkan hingga sekarang, bahkan meski jemari mereka sudah bertautan untuk yang entah ke berapa ratus kali. Sera tak pernah bosan. Sera suka dicintai Jehian. Jehian selalu jadi sumber euforia, hadirnya menopang dunia menyedihkan Sera. Secinta itu. Sera sehabis-habisan itu pada Jehian. Makanya, ketika sekarang ia didepak dengan pengakuan yang hanya berani Jehian tunjukkan lewat sebuah pesan, Sera langsung bertanya-tanya, selama ini apa hanya Sera yang terus-terusan memupuk rasa, sementara Jehian dari hari ke hari meluntur perasaannya?
Mata bengkak Sera yang basah setia memandangi ponsel di hadapannya, berharap layar akan menyala, akan ada panggilan masuk dari Jehian, dan jelaskan bahwa yang barusan hanya bercanda. Namun, sudah lewat enam jam sejak pesan dikirimkan, ponsel Sera tak kunjung berdering. Maka tangan yang semula memeluk erat lutut, perlahan terulur menggapai gawai tersebut. Ia yang akan ambil inisiatif untuk menelepon Jehian. Ia mau mempertegas luka, mau totalitas merengkuh duka. Sera ingin dengar sendiri mulut Jehian mengatakan kalimat-kalimat yang dikirimkannya.
"Halo, Ra?"
Dan siapa sangka, panggilan diangkat begitu cepat. Suara lembut Jehian mengoyak perasaan Sera yang sudah porak poranda. Sera bisa mendengar nada sesal di sapaan singkat tersebut.
"Mas-" Perempuan itu tercekat, sesak dadanya. Kata-kata yang sudah tertata di kepala Sera seketika sirna. Ia menggigit bibir bawah kuat-kuat, membiarkan air mata berjatuhan. Ia tak terisak-setidaknya mati-matian berusaha untuk tak lepaskan isakan.
"Sera," Jehian memanggil lagi dengan suara yang semakin lembut, "Maafin Mas. Maaf udah jadi pengecut. Tadi abis dapat kabar dari Bunda, Mas gak bisa mikir apa-apa selain langsung kirim pesan ke kamu, ngasih tau yang sebenarnya terjadi. Mas tau Sera pasti bingung banget abis teleponan sama Bunda. Kalau kamu masih sudi untuk ketemu Mas, ayo ketemu, Ra. Banyak hal yang mau Mas jelasin ke Sera."
"Kenapa?" Sera bertanya lirih, sedikit goyah suara yang lolos dari bibirnya. "Kenapa ninggalin aku? Aku harus gimana abis ini? Beneran enggak ada kesempatan lagi ya buat kita, Mas Je? Aku tau aku banyak kurangnya, tapi aku mau kok berusaha memperbaiki diri. Aku bakal lakuin apa pun supaya Mas Je tetep betah sama aku. Bilang, Mas, aku harus gimana biar kamu pulang ke aku?" Akhirnya, isakan Sera lepas juga. Sekarang ia benar-benar mengemis pada Jehian. Sejak awal Sera mencintai Jehian tanpa gengsi, tetapi di titik ini, Sera bahkan telah diperbudak cinta. Logika Sera sadar ini tidak layak dilakukan, memohon pada seseorang yang jelas-jelas tak setia. Namun, rasa sayangnya lebih besar. Kekecewaannya bertekuk lutut di hadapan cinta yang masih membara.
"Sera, bukan kamu, tapi di sini Mas yang jadi masalahnya. Mas udah gak bisa," bisik Jehian. "Belakangan Mas sadar kalau Mas kelewat sibuk, bikin Sera ngerasa kesepian, dan keadaan ini bakal berlangsung seumur hidup Mas, Ra. Mas gak mau nyakitin kamu lebih banyak dari ini. Mas beneran minta maaf." Lalu Jehian suguhkan sunyi.
"Tiga tahun yang kita punya ... nggak ada apa-apanya ya buat kamu, Mas?"
"Sera pacar pertama Mas, Ra. Sera ngenalin Mas ke hal menyenangkan yang dibilang cinta sama orang-orang. Senyum Sera pernah jadi satu-satunya hal yang bikin Mas semangat lewatin jenuhnya rutinitas. Semua tentang Sera itu berharga buat Mas. Tapi pada akhirnya kita emang enggak bisa, Ra."