Logika Sera berangsur-angsur buram. Ia mulai tidak mengerti terhadap diri sendiri yang terus menunda-nunda waktu untuk memutuskan Januar. Di saat ia tahu betul tak ada masa depan bagi hubungan mereka, punya alasan kuat juga untuk berhenti—tetapi Sera malah memilih bertahan. Sera selalu membohongi diri dengan membisiki telinga sendiri; nanti deh putusinnya nunggu timing yang tepat. Padahal ia menyadari penuh bahwa setiap detik adalah waktu yang tepat. Menyadari juga jika semakin lama bersama maka akan semakin menyakiti satu sama lain. Namun, kendati menyadari hal tersebut, Sera yang tak kunjung ambil keputusan justru menunjukkan jika ia diam-diam menyukai hubungan ini.
Ya, Sera menyukainya. Dia suka saat kekosongan yang ditinggalkan Jehian terisi oleh kehadiran Januar. Dia suka cara Januar mencintainya—sebab itu membuat ego Sera yang sempat luka karena Jehian perlahan-lahan pulih. Ia disayang, diperhatikan, disanjung. Sangat membantu Sera dalam menata ulang kepercayaan diri yang sempat berantakan usai ditinggalkan Jehian. Namun, di balik Sera yang diam-diam menyukai eksistensi Januar beserta rasa cintanya yang tumpah ruah itu, Sera tahu ini tidak benar. Sera tidak bisa benar-benar menyukai Januar karena dia adalah Januar, melainkan karena Sera butuh pelampiasan. Sera butuh distraksi untuk kesedihannya, dan kebetulan Januar memberikan penghiburan itu dengan suka rela.
Sera tidak perlu dikatai egois supaya tahu diri, sebab ketika ia bercermin pun akan mengutuk dirinya sendiri. Untuk hatinya yang dipenuhi oleh keraguan dari memutuskan Januar sekaligus mengakhiri kepura-puraan ini—Sera sadar dirinya begitu egois. Harusnya ia tak ragu untuk berhenti mempermainkan perasaan Januar.
"Tidur kamu, Ra?"
Perempuan yang meringkuk di kasur Januar dengan mata terpejam itu pun menyahut lirih, "Nyaris." Merenggang kelopak matanya kemudian, langsung disuguhi punggung polos Januar yang baru keluar kamar mandi. Ia refleks memejam lagi—lebih erat—sambil menggerutu, "Mas, udah tau ada anak gadis di sini, kenapa santai banget gak pake baju? Minimal pake kaos kutang atau handuknya dililit sampe dada."
"Sorry, aku kira kamu udah balik ke kamar kamu, soalnya nggak berisik."
"Emang biasanya aku berisik?"
"Masa gak nyadar?"
Sera manyun-manyun. "Sekarang sadar, thanks atas reminder-nya."
Kekehan Januar jadi sahutan. Lelaki itu berbalik, melangkah mendekat pada Sera sambil meloloskan kaos hitam ke tubuh. Ia berlutut di sisi ranjang, menatap Sera yang masih memejam dengan senyuman geli. Diketuknya pelan kening Sera, bikin perempuan itu meringis dan refleks memegangi bekas sentuhan Januar. Namun, tetap saja Sera belum mau membuka mata. Takut penampakan punggung kokoh yang tampak nyaman untuk dipeluk itu masih ada di sana. Kesempatan tersebut Januar gunakan dengan baik; ia jadi leluasa berlama-lama memandangi wajah cantik kekasihnya.
Senyuman lelaki itu meluntur selagi jemarinya mengusap-usap rambut Sera yang awut-awutan—maklum, bangun tidur Sera langsung ngungsi ke kamar Januar—tetapi tatapannya melembut, seolah-olah rupa Sera adalah sesuatu yang paling Januar kagumi dan kasihi.
Bukan seolah, memang iya.
Beneran gak bisa, ya? Di masa depan, wajah indah ini nggak bisa jadi view pertama yang gue liat di setiap pagi?
"Pake baju belum, Mas?"
"Belum." Sebentar, Januar masih mau merekam tiap lekuk di wajah itu lebih lama. "Kira-kira siapa laki-laki yang beruntung bisa lihat wajah cantik ini tiap bangun pagi di masa depan, Ra?" Di titik ini Januar bahkan sungkan berandai-andai jika itu adalah dirinya.
Mendengar gumaman tersebut, Sera tak lekas membalas. Jika hubungan ini tak diawali dengan kebohongan, Sera jelas bakal menjawab lantang bahwa Januar si lelaki beruntung itu. Namun, situasi tak mengizinkan Sera bilang demikian. Sera enggan memberikan Januar lebih banyak pengharapan.