Sore ini Sera menolak ajakan pulang dari Januar. Dengan tawa kekanakan, Sera bilang mau girls time bersama Gemala. Tak bohong kok, ia memang sempat kulineran sampai kemudian di jam tujuh malam ini terdampar di pinggir jalan. Seperti malam-malam lainnya, jalanan Braga selalu ramai. Dan di antara keramaian tersebut, dua perempuan itu menempati kursi panjang di tepi jalan, menyaksikan kendaraan berlalu lalang. Pada gaduh yang dituang sekitar, Sera membagi kekalutan kepada Gemala. Tentang ia yang dibohongi habis-habisan oleh Januar dan Hanafi, sampai-sampai membuat Gemala ikut geram juga.
"Awas aja, bakal gue silent treatment satu bulan si Hanafi-Hanafi itu," kata Gemala seusai mendengarkan cerita Sera. Kecewanya sama besar sebab bisa-bisanya Hanafi sembunyikan
hal sepenting ini. Gemala kira waktu bertahun-tahun yang mereka lewati bersama cukup untuk bikin Hanafi sudi percayai Gemala sepenuhnya.Namun, ternyata tidak, ya?
Di balik sikap santainya sekarang—memperhatikan Sera berkeluh kesah sambil menyantap kebab—sejatinya Gemala sedang berusaha meredam kekecewaan. Ia yang tak diberitahu padahal cuma outsider saja sebegini sedihnya, tak terkira pedih jika jadi Sera. Kepercayaannya dihancurkan, akan butuh waktu untuk memaafkan.
"Di saat gue overthinking tiap malam, mati-matian menyangkal prasangka buruk ke Jehian sampai gue ngerasa frustrasi sendiri. Ketakutan sendiri. Di masa-masa itu gue berusaha banget bertingkah biasa aja, seakan janggal di Jehian gak gue sadari—sekalut itu gue kemarin, Ge. Dan jahatnya pas gue kebingungan, di sana ada Hanafi yang tau jawaban atas kecemasan gue tapi malah milih diam." Sera terkekeh hambar, memaku tatapan nanar pada cup minuman di tangan. Bukannya ia tidak bisa memahami alasan Hanafi menyembunyikan fakta, hanya saja kenapa lelaki itu tak mencoba dulu? Jika kejujurannya tak bisa Sera terima setidaknya ia sudah berusaha untuk menyelamatkan Sera. Itu kan gunanya teman? "Menyadari ada momen di mana gue ketawa-tawa bareng Mas Jehian dan disaksiin Hanafi yang natap gue kasihan ... Ge, gue sedih banget. Sedih karena gue semenyedihkan itu."
Gemala usap lengan Sera, tidak tahu persis sesakit apa Sera merasa, tetapi Gemala mengerti ini tidak mudah. Ia melihat sendiri Sera menggantung kata berkali-kali ketika bercerita tadi lantaran tenggorokannya pasti perih sekali. Gemala tak perlu disuguhi air mata perempuan itu, dari tatapannya yang kentara menyirat duka saja ia tahu perasaan Sera porak poranda.
Sera mengulum bibir bawah sambil mengerjap-ngerjap—ada air mata yang mati-matian ditahannya. Riuh deru mesin di jalanan yang beradu dengan suara orang-orang tak mampu mendistraksi gemuruh di kepala Sera. Ia telah merenung sepanjang malam hanya untuk menyadari diri ternyata memang semenyedihkan demikian. Ia kecewa pada keadaan, pada mereka yang bungkam. Namun, di akhir Sera cuma bisa menyalahkan diri sendiri. Salah diri sendiri lantaran ceroboh mengira ada manusia bisa dipercaya.
"Saking marahnya gue kemarin, Ge, gue sampe pendek pikir dan lakuin sesuatu yang kekanak-kanakan." Sera bicara lagi, suaranya yang lirih dan menyirat rasa lelah berhasil bikin mata Gemala berkaca-kaca. Sebagai seseorang yang membersamai Sera cukup lama, ia rasa Sera salah satu manusia yang bahunya dikuatkan Tuhan lebih dari orang lain. Dapati keheningan dari sisi kanannya, Sera pun menoleh, menyatukan tatapan dengan Gemala—menunjukkan pilu di matanya. "Gue semena-mena narik Januar supaya bisa balas dendam ke Jehian—ya, itu tolol banget, gue tau." Sera buru-buru ngaku lantaran tidak mau Gemala salah paham lebih jauh.
"Ra, gue tau si brengsek itu kelewat jahat. Jehian selingkuhin lo sampe selingkuhannya hamil pula. Selain gak ada otak, kayaknya si Jehian juga gak punya hati. Gila, gue sampe wah, gila! Enggak ada kosakata yang bisa gue pake untuk mendeskripsikan betapa brengseknya Jehian." Demi Tuhan, Gemala benci sekali pada orang-orang yang menginjak-injak kesetiaan. "Tapi bukannya nggak bijak banget ya, Ra, kalau balas dendam lewat orang lain?"