"Aku pengin ke pantai, deh." Siang itu Sera tanpa sadar menggumam ketika menyunting naskah di bagian si main chara berlarian sambil tertawa-tawa di bibir pantai. Narasi ditulis dengan indah, mampu seret imajinasi Sera ke dalamnya. "Ah, ini pendeskripsiannya Ancol banget, jadi mau ke sana juga."
Dan Januar yang mendengarnya lekas menyahut, "Boleh, kalau nanti sore gimana, Ra? Sekalian lihat sunset?"
Jawaban datang dari sisi Sera, "Boleh, tuh. Gue sama Gemala join, boleh?"
Sera melirik Hanafi sekilas hanya untuk menunjukkan putaran bola matanya—masih slek mereka. Sera sudah tidak sekecewa sebelumnya, cuma masih sebal saja jika melihat Hanafi yang cengangas-cengenges. Namun, meskipun Sera masih mau cold war dengan sang sahabat, pada akhirnya mereka berempat pergi bersama menggunakan mobil Hanafi.
Di sinilah Sera dan Januar sekarang, menyusuri lantai kayu Love bridge di bawah naungan langit senja. Jemari mereka bertautan, sesekali saling lirik demi ulas senyuman. Goresan warna jingga di cakrawala memang cantik, tetapi di mata Januar, sosok yang terus berceloteh ria di sebelahnya jauh lebih menawan. Sisa-sisa sinar matahari yang nyaris tenggelam di ujung lautan menyapa kulit Januar dengan kehangatan, tetapi hangat di balik rongga dada datang dari lima jemari yang tersembunyi apik dalam genggaman tangan lelaki itu. Dengan berani Januar labeli sore ini sebagai sore yang sempurna, karena Tuhan menyuguhkan indah panorama yang puaskan mata, lalu indah hamba-Nya yang untuk kali ke sekian membuat Januar jatuh cinta. Tak henti-henti hati Januar memuja-muji perempuannya.
Sementara satu pasangan lainnya memilih berlarian di bibir pantai, membiarkan debur ombak kecupi kaki-kaki mereka yang tak beralas.
"Cantik banget sunset-nya," ujar Sera ketika kakinya telah berhenti dari langkah-langkah pelan yang sarat kekaguman. Satu tangannya masih bertautan dengan jemari Januar, sementara satu lagi menggenggam cone ice cream. Angin yang sore itu berembus cukup kencang membuat ujung rambut Sera yang tergerai menyabet-nyabet wajahnya sendiri. Perempuan itu menggerutu tak suka lantaran rambutnya juga turut serta mengenai ice cream, bikin pipi Sera belepotan. "Ish! I look like a mess!"
Januar menoleh, menatap bibir Sera yang merengut lucu. "Ya, the prettiest mess," gumamnya, menuai decakan Sera—decakan tidak suka yang amat berkebalikan dengan rona di pipinya.
Januar terkekeh, lalu mengurai tautan jemari mereka. Januar meraih tangan Sera untuk menarik lepas ikat rambut dari pergelangan tangan perempuan itu. Tanpa kata mengikat rambut Sera dengan penuh ketelatenan. Sesudah itu ia balik ke sisi Sera dan kembali menggenggam tangannya. Tak lupa Januar usap noda ice cream di pipi sang kekasih. "Seneng nggak, Ra?"
Sera mengangguk antusias.
Januar ikut mengangguk, sehabis itu tak lagi berkata-kata, hanya menatap intens wajah Sera. Tatap lembut yang sarat kekaguman, penuh dengan cinta dan kasih sayang. Semula Sera dapat ladeni tatapan lelaki itu, tetapi lama kelamaan ditatap sedemikian lekat membuat Sera kikuk juga. Tertawa canggung, Sera memukul main-main lengan Januar sambil memprotesnya,
"Kenapa lihatinnya kayak gitu, Mas?"
Januar tersenyum tipis. "Soalnya aku suka lihat kamu seneng, Ra," katanya.
Bibir bawah Sera maju sekejapan, lalu menggigit lagi cone sembari menahan kuluman senyum. Semburat merah di pipinya semakin kentara, pun dengan cuping telinga Januar. Sera sungguh senang bisa berdiri di sini bersama lelaki itu, bergenggaman tangan dan saling melempar senyum yang sampai ke mata. Khusus untuk sore ini Sera akan melupakan sejenak kenyataan pasal ketidak-mungkinan hubungan ini berakhir baik. Sore ini bakal Sera pakai untuk mencintai Januar, cintai lelakinya seolah-olah ada happily ever after yang bisa mereka gapai. Seolah, yang selamanya hanya sebatas seolah.