Nakas di sisi ranjang Sera dipenuhi buah tangan dari rekan sekantornya yang tadi membesuk. Seumur hidup, baru kali ini Sera sakit yang harus sampai rawat inap, merasakan tajam jarum suntik menembus punggung tangan. Sera kira dia cukup tangguh, sebab biasanya sesakit apa pun dia tidak pernah tumbang. Lalu momen ini datang, menyadarkan perempuan itu bahwa dirinya hanyalah manusia.
Raga yang Sera kira tahan banting itu ternyata punya batas dalam menahan rasa sakit. Namun, sesakit-sakitnya fisik, batin Sera lebih nelangsa. Di saat terbaring tak berdaya, nihil keluarga yang mendampinginya. Alih-alih sang Mama dan Amira yang berada di sini, merawatnya, mencurahkan perhatian pada Sera, justru malah Gemala dan Hanafi yang menyediakan diri untuk menjaga Sera. Belasan tahun yang ia lewati bersama Mama dan Amira tak mencipta ikatan lebih erat ketimbang lima tahun yang Sera miliki dengan Hanafi dan Gemala. Sera jadi ciptakan pengandaian, seandainya Ayah masih ada, sudah pasti Sera dipedulikannya.
"Asem banget," komentar Hanafi yang baru saja memasukan sepotong jeruk ke mulut. Pada sofa di sudut ruangan, lelaki itu mengernyit hebat sembari memuntahkan jeruk tersebut ke tisu. Gemala yang duduk di kursi sebelah ranjang cuma melayangkan tatapan datar pada sang kekasih, kelewat biasa menyaksikan tingkah gila Hanafi. "Mau nyobain nggak, Ay?" tanya lelaki itu.
"Lihat muka lo aja udah bikin sepet."
Balasan dari Gemala bikin Hanafi menggerutu tanpa suara, sementara Sera yang berbaring dengan posisi setengah menyandar di ranjang cuma terkekeh melihat interaksi lucu dua sejoli itu. Adanya mereka adalah obat bagi sepi yang Sera rasa. Mereka itu tipe teman yang loyal, perhatian, dan kelewat peduli. Keberadaan Sera di antara mereka semacam bayi yang amat dijaga. Selain Jehian Mahardika, Hanafi dan Gemala merupakan dua orang yang Sera syukuri hadirnya.
Jika hidup kedua sungguhan ada, Sera akan memohon pada Tuhan untuk dipertemukan lagi dengan mereka."Lo ngabarin nyokap lo gak?" tanya Gemala yang langsung dibalas Sera dengan gelengan pelan. "Mas Je?"
"Gue cuma ngabarin ke dia kalau gue sakit, tapi belum bilang soal gue yang harus rawat inap. Lagian chat gue aja yang tadi pagi belum dia bales. Mas Je kayaknya lagi super hectic, deh. Gue gak mau ganggu." Sejatinya Sera tidak benar-benar berprasangka baik pada sang kekasih. Pengabaian yang entah disengaja atau tidak oleh Jehian ini justru mengusik ketenangan Sera. Ia baru kali ini mendapati Jehian setidak acuh demikian. Namun, Sera berusaha untuk percaya; Jehian mungkin sedang sangat sibuk di sana. "Tapi, Ge, gue ngerasa aneh deh sama Mas Januar."
Mata Gemala langsung berbinar-binar mendengar nama lelaki itu. "Gue juga, kayak ... kenapa bisa sih ada manusia secakep dia? Cakep banget, buset. Gue rasa-rasanya bakal rela buang Hanafi kalau Mas Januar mau sama gue—"
"Gemala bibirnya minta dicium, nih." Hanafi menyela sambil memamerkan senyuman palsu, lalu sudut bibirnya berkedut-kedut sebal selagi menatap Gemala yang cengengesan. Setelah mendengkus keras, fokus lelaki itu beralih pada Sera. "Aneh kenapa, Ra?"
Sera menyempatkan diri untuk berikan gelengan kepada Gemala
yang menyodorkan satu iris apel ke arahnya, lalu membalikkan tatapan pada Hanafi dan membalas, "Masa baru dua hari kenal udah nyamperin gue ke kostan? Dia terlalu perhatian sebagai stranger. Mana omongannya juga aneh. Gue nggak kepedean kan kalau ngira dia deketin gue, Han? Ge?""Kepedean," balas Gemala, sementara Hanafi cuma ketawa kecil mendengar sahutan tegas tersebut. "Gak, gak, gue bercanda. Tapi kalau mau bahas Mas ganteng itu dengan serius, ya emang sus, sih. Gue sampe kaget pas denger dari Hanafi kalau Mas Januar yang bawa lo ke rumah sakit. Fakta kalau bukan Mas Je ganteng yang lakuin itu tuh kerasa ganjel banget buat gue, Ra. Mas Jehian yang biasanya Sera demam dikit doi langsung panik itu ke mana?"
"Ay, sini dulu bentar deh."
"Mau ngapain?" tanya Gemala sambil beranjak dari kursi, tetapi langsung duduk lagi saat Hanafi mengatakan,