14. Adek

1K 209 38
                                    

Sejak sore tadi, sehabis pulang kerja, Januar menginvasi kamar Hanafi. Letak rumah Hanafi yang tidak jauh dari kostan jadi tujuan Januar nongki lantaran di kostan Januar kebosanan. Pasalnya sore ini Januar tidak pulang bersama Sera. Ada urusan di rumah, kata perempuan itu sebelum pergi meninggalkan Januar di teras kantor.

Menatap kosong langit-langit kamar, Januar mengembuskan napas untuk yang ke sekian kali, membuat Hanafi yang tengah main PS persis di depan ranjang menoleh sekilas ke belakang.

"Kenapa lo?" Hanafi bertanya dengan fokus terarah ke layar televisi. Tidak ada balasan berupa kata, melainkan Januar menghela napas lagi, bikin Hanafi refleks lepas decakan. "Sera cuma balik ke rumahnya bentar, elah. Lagak lo udah kayak ditinggal kawin wae, Jan." Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak prihatin atas kebucinan Januar yang tak tertolong.

"Kata lo dia enggak akur sama orang rumahnya, gue khawatir aja," balas Januar, kian erat mendekap guling.

Hanafi mendengkus geli. "Kenceng amat bau-bau kebucinan ini, nyet."

"Gue emang head over heels for her since two years ago," balasnya bangga.

"Halah!" Hanafi mencibir. "Tahun kemarin bukannya lo deket sama cewek lain?" Masih ingat sekali ia unggahan foto-foto mesra Januar dengan gadis cantik ibu kota yang belakangan Hanafi ketahui sebagai penulis beken yang karya-karyanya mulai sering diadopsi jadi layar lebar.

"Deket doang."

"Deket doang sampe cium-cium pipi, mana di posting di Instagram lagi—"

"Udah gue hapus, nyet," balas Januar cepat sambil melempar bantal pada Hanafi, hantam telak kepala lelaki itu. "Yang gue tau waktu itu, gue enggak punya kesempatan. Perasaan gue gak punya kesempatan untuk sampai ke Sera, makanya gue nyoba sama orang lain. Waktu itu, gue percaya Jehian yang paling baik buat Sera. Sera ada di penjagaan laki-laki yang tepat, dan gue tentu aja harus berhenti. Gak lucu kalau naksir sama kakak ipar sendiri."

Hanafi taruh stik di pangkuan, lantas menyandarkan punggung pada body depan ranjang. Hanafi mendengarkan.

Dengan tatap lesu terpaku pada potret wajah ceria Hanafi dan Gemala dalam frame yang menggantung di dinding, Januar melempar ingatannya ke masa lalu. Momen di mana Januar tidak sedikit pun berani membayangkan bakal menemui hari di mana dirinya diberi kesempatan mengusahakan perasaan Sera—perasaan yang porak poranda sehabis ditinggalkan Jehian. "Waktu itu, yang gue tau, gue harus berhenti bahkan sebelum memulai."

Hanafi merebahkan kepala ke kasur, menatap lurus langit-langit kamar. "Kenapa bisa sesuka itu sama Sera?" Dulu, saat Januar menelepon tengah malam cuma untuk bilang kalau dia naksir pacar abangnya, Hanafi cuma tertawa. Ia memaklumi. Waktu itu Hanafi pikir Jehian baru saja pamer foto Sera ke Januar, lantas berhasil memikat Januar. Hanafi kira Januar sebatas suka, yang dalam beberapa hari saja bakal lupa. Pemikiran itu bertahan hingga setahun lamanya, sampai kemudian Januar sukses mematahkan asumsi tersebut. "Lo yang sampe bikin Bumantara cuma karena gue bilang Sera butuh kerjaan, jujur aja bikin gue bingung. Kok bisa lo sesuka itu? Kenal Sera juga enggak."

Januar berdecak. "Bumantara ada bukan karena Sera ya, nyet. Jangan ngaco. Omongan soal Bumantara udah ada sejak jauh-jauh hari. Gue sama Bang Jo diskusiin itu sejak lama."

"Tapi yang bikin lo yakin kan karena Sera." Hanafi melepas kekehan kecil, mengejek Januar yang seketika bisu. "Tau gue, Jan. Lo mungkin udah bikin rencana soal Bumantara sejak lama, tapi lo ragu, sampai akhirnya gue bawa kabar tentang Sera yang butuh kerjaan, dan seminggu kemudian lo ngabarin gue untuk gabung, 'kan?"

Januar menghela napas. "Ketahuan banget, ya?" Lalu ringisannya tampak samar-samar begitu Hanafi membalas dengan decihan keras. Sera memang mempunyai andil cukup besar dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan Januar perihal pendirian Bumantara. Semula, lelaki itu tidak berniat untuk pulang ke Bandung. Akan menetap di Jakarta, teruskan usaha yang dibangun oleh sang kakek. Namun, takdir justru membawanya ke titik ini. Hanya saja, kendati benar Sera merupakan alasan Januar berani melangkah sejauh ini, berani kembali menginjakkan kaki di Bandung yang penuh kenangan buruk—ia enggan terang-terangan mengakui. Soalnya terkesan bucin sekali. "Dan kata siapa gue enggak kenal Sera?" Senyumnya mengembang perlahan. "Dari point of view-nya Bunda, sosok Sera tuh cantik banget, Han. The way she treated si brengsek Jehian sukses bikin gue iri."

[✓] KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang