Sera rasa benar ia dilahirkan hanya untuk ditinggalkan. Baru saja ia cicipi sedikit bahagia bersama Januar usai sebelumnya merangkak susah payah untuk keluar dari jeratan kenangan yang ia miliki dengan Jehian—lagi, kenyataan menggilas segala euforia. Sera kembali disuguhi kenyataan pilu, di mana mungkin setelah ini Januar pun harus ia lepaskan. Belum lama ia memberanikan diri membuka hati, ia sekali lagi bertaruh dengan semesta; apakah cinta yang ini bisa membuat bahagia atau tidak. Tidak, ternyata tidak. Januar yang tiba-tiba datang ke hidup Sera, menyodorkan setumpuk kasih sayang yang bikin Sera senang, justru adalah orang yang jadi dalang kandasnya hubungan Sera dan Jehian.
"Gimana? Udah ada kabar belum, Ra?" Dari kursi sebelah, Hanafi bertanya.
Tanpa mengalihkan tatap dari layar laptop, kepala Sera menggeleng pelan.
Sudah dua hari berlalu sejak malam itu, dan sampai kini Sera tak melihat batang hidung Januar. Lelaki itu nihil keberadaannya di kostan, absen juga dari kerjaan. Sera tanya-tanya Hanafi pun malah raut kebingungan Hanafi yang Sera dapatkan sebagai jawaban. Sempat Sera bertanya pada Jonathan, tetapi balasan berupa ketidaktahuan yang lagi-lagi Sera dapati. Mencoba menghubungi lewat ponsel, gagal, nomor Januar mendadak tak aktif. Sera kelimpungan mencari Januar selagi dirinya sendiri membebat luka yang kembali berdarah-darah. Lantas, pada akhirnya Sera menyerah. Ia kira Januar membutuhkan waktu sendiri. Sebab dari penuturan Jehian malam itu, Januar memang tak ingat apa-apa perihal kejadian di puncak, sehingga video tersebut bikin Januar terkejut.
Jika ditanya soal perasaan, Sera jelas kecewa. Sebab segala kekacauan di antara dirinya dan Jehian bermula dari malam kelam itu, dari Januar yang menempatkan Sabrina dan Jehian di satu kamar. Namun, Sera belum mau ambil keputusan untuk membenci Januar, mau mendengar dulu alasan kenapa Januar melakukannya. Lagi, Jehian juga punya andil besar dalam memperburuk keadaan lantaran tak jujur pada Sera sejak awal. Andai tak menyimpannya seorang diri, andai mau berbagi masalah, Sera mungkin akan berlapang dada melepas Jehian. Tidak akan muncul setitik pun benci kepada lelaki itu. Dan juga, Sera tidak akan terlibat sejauh ini dengan Januar.
Sekarang, Sera tak mau menyalahkan siapa pun. Tak ada gunanya juga. Satu yang Sera mau saat ini; temui Januar, mendengar kejadian di puncak dari sudut pandang lelaki itu. Kemudian, Sera akan melepaskan—segalanya. Sebab keadaan sungguh pelik, Sera mustahil mempertahankan Januar, mempertahankan hubungan mereka.
Sera hancur, Januar pun demikian, maka jeda—keduanya butuh jeda.
"Ra," Hanafi menggeser kursi lebih dekat pada Sera, menatap prihatin sahabatnya yang sok tegar itu. Dua hari lalu, Sera menghubungi Hanafi pagi-pagi, menanyakan di mana dia berada dengan suara yang kentara menahan tangis. Dan ketika Hanafi datangi Sera ke kostan, Sera langsung menghamburkan diri ke dada Hanafi, menangis sejadi-jadinya. Kemudian menceritakan tentang Jehian dengan suara tersendat-sendat. Karenanya, ia coba bantu Sera mencari-cari Januar, tetapi berakhir nihil juga. "Sekarang udah agak jernih belum isi kepalanya?"
Sera memejam sebentar, mengembus napas panjang. Ia bawa tatapan pada Hanafi, mengangguk lemah. "Kenapa?"
"Gue," Hanafi meraih tangan Sera di atas meja, menangkupnya, "setuju kalau lo putusin Januar, lo emang harus menjauh dari keluarga dia. Tapi, Ra, tolong baik-baik bilangnya ke Januar, ya? Januar temen baik gue sejak dulu, dan setau gue dia sayang banget sama keluarganya. Secinta apa pun dia sama lo, gue yakin dia enggak akan lakuin hal-hal kotor kayak gitu;
ngejebak Jehian demi bisa merebut lo. Boleh jadi dia sayang lo, tapi dia pasti lebih sayang ke Jehian—seperti yang lo tau, darah lebih kental ketimbang air. Apalagi Januar tumbuh dalam penjagaan Jehian, tumbuh sambil menyaksikan seberapa besar jasa Jehian ke dia. Gak akan, Januar gak akan tega ambil apa yang bikin Jehian bahagia. Di mana pun sekarang dia sembunyi, dia pasti lagi nyalahin diri sendiri. Dia bakal ngerasa bersalah seumur hidup atas kecerobohannya."