Setelah kejadian dimana Kaivan berdebat dengan orangtuanya, remaja laki-laki itu berubah menjadi pendiam. Tidak ada keributan lagi yang dilakukan oleh Kaivan, tidak ada suara lagi saat jam makan ataupun hanya sekedar basa-basi.
Hal itu tentu membuat perasaan orangtuanya semakin merasa bersalah, mereka berpikir jika keputusan sepihak kemarin telah membuat putra sulung mereka tertekan.
Padahal yang sebenarnya terjadi, Kaivan sedang mengobrol bersama ketiga temannya. Mereka tengah membahas tentang bagaimana caranya agar bisa mendapatkan bukti nyata untuk menangkap penyusup itu.
Kaivan terlalu fokus pada topik yang ia bicarakan sampai tidak menyadari tatapan dari orangtuanya yang menatapnya dengan ekspresi sendu, begitu juga dengan adik-adiknya yang menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Kai selesai," ujar Kaivan yang mengagetkan orangtuanya.
Sebelum laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, Rafandra mengatakan sebuah kalimat yang hanya dibalas anggukan singkat oleh Kaivan. Setelah itu, Kaivan segera pergi dari ruang makan.
Kini Kaivan berjalan menyusuri koridor yang terlihat sepi, hanya ada beberapa penjaga yang berkeliling dan menyapanya.
"Bukti nyata," gumam Kaivan dengan posisi berpikirnya.
Laki-laki itu melihat sekelilingnya, mencari sebuah benda yang sekiranya dapat dijadikan bukti. Namun tidak ada sama sekali.
"Kenapa gue nggak kepikiran sama sekali?" tanya Kaivan yang kini berlari menuju kamarnya.
Laki-laki itu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya, dengan posisi tengkurap, Kaivan mendial nomor Arya.
"Yo, napa telpon? belajar cuy besok ujian."
Kaivan terkekeh pelan. "Lo serius belajar? kayanya gue denger suara tembakan disana," tanyanya.
"Ya nggak lah! gue lagi main pepji," balas Arya.
Kaivan sudah menduganya, mana mungkin sahabatnya itu belajar jika mata pelajarannya tidak terlalu sulit.
"Napa telpon?" tanya Arya.
"Beli cctv dimana?" tanya Kaivan.
"Beli onlen aja, Kai. Banyak."
"Pesenin, Ar. "
"Ah, ngerepotin aja lo! berapa?" sahut Arya dengan suara kesalnya.
Kaivan berpikir sejenak, menghitung banyaknya ruangan di Istana ini, lorong-lorongnya, area halaman rumah dan tentunya gerbang keluar dan masuk Istana.
"Seratus," putus Kaivan.
"LO GILAA??!"
"Buat apa sebanyak itu, Pangeran?!"
"Jangan gila! itu terlalu banyak, Pangeran!"
"Pangeran!"
Kaivan memejamkan matanya saat Arya dan ketiga temannya itu berteriak ke arahnya, kalau suara Arya tentu masih bisa ia tahan, namun suara ketiga temannya itu benar-benar membuat kedua telinganya berdenging saking nyaringnya.
"Brisik!" ujar Kaivan sengit.
"Oh, sorry-sorry, gue kaget aja denger lo pesen seratus," balas Arya dari seberang sana.
"Hm, pesen lima puluh aja, Ar. Ntar duitnya gue transfer," ujar Kaivan sebelum memutuskan panggilan secara sepihak.
Kaivan mengubah posisinya menjadi terlentang yang dimana ia langsung berhadapan dengan tiga teman tak kasat matanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown Prince [ hiatus ]
FantasíaKaivan Tarachandra, nama Putra Mahkota dari Raja Rafandra dan Ratu Devina yang hilang lima belas tahun silam. Kaivan hanya remaja biasa yang cukup banyak dikenal oleh orang-orang di tempat tinggalnya, setidaknya sebelum dua orang yang seumuran deng...