Chapter 25

894 91 10
                                    

Menemukan Lisa bukanlah hal yang mudah, bahkan dengan ballroom yang penuh dengan tamu dan lebih dari satu anggota staf yang bersumpah bahwa mereka melihat Lisa bergegas menuju pintu di sisi ruangan.

Tidak, alasan Jennie berjuang untuk menemukan pacarnya setelah momen seperti itu adalah karena kepalanya sendiri berada di tempat lain.

"Lisa?" Jennie, mengabaikan pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya, menghampiri seorang pramusaji yang keluar dari dapur. "Apakah kau melihat pacar ku lewat sini? Gold dress, black hair?"

Sebuah jari menunjuk ke arah yang dituju Jennie. "Aku melihatnya berjalan menuju halaman. Maaf, hanya itu yang aku tahu."

"Terima kasih." Jennie memasuki dapur, suara teriakan memenuhi udara di sekelilingnya. Itu adalah cara tercepat untuk mencapai halaman.

Melenggang melewati para koki dan pelayan berpakaian putih-hitam yang berseliweran, ia menyelinap keluar dari pintu samping dan masuk ke halaman yang sempit. Tempat itu dipenuhi oleh para pelayan yang merokok dan para tamu yang ingin melarikan diri dari pesta selama beberapa menit.

Benar saja, Jennie melihat Lisa, berdiri di sudut jauh dengan gaun emasnya, dikelilingi oleh semak-semak berbunga yang membuatnya terlihat seperti seorang dewi di alam.

"Lisa!" Sepatu hak Jennie tersangkut di jalan berbatu saat ia berlari menuju pacarnya. Dia melepaskan sepatunya dan mengambil risiko dengan bertelanjang kaki. "Apa maksudnya tadi? Jika ini adalah bagian dari rencana besar PR, aku harap kau mau memberitahuku terlebih dahulu. Semua orang dan para investor bertanya apa yang terjadi denganmu!"

Pada awalnya, Lisa tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan merespons. Kemudian, ia melangkah maju, berusaha menjauh dari Jennie.

"Aku rasa ini bukan rencana yang sedang kau atur." Jennie menarik lengannya dan membawanya kembali ke sudut halaman. "What the hell is going on with you?"

Dia mempelajari wajah pacarnya. Perutnya terasa mulas saat ia menyadari bahwa Lisa hampir menangis.

Jennie melepaskan lengan Lisa, perutnya bergejolak. "What's the matter? What happened?"

Bibir Lisa bergetar. Namun, alih-alih menangis, ia justru menatap Jennie, matanya sedingin es.

"Kenapa kau harus peduli?" bentaknya. "Takut kalau aku akan menodai citramu? Tidak." Dia mengangkat tangan, telapak tangan terbuka, mencegah upaya Jennie untuk menyela. "Jangan bilang bukan itu yang kau pedulikan. Penampilan adalah satu-satunya hal yang penting bagimu dan seluruh keluargamu. Kau sama buruknya dengan mereka semua." Dia menggelengkan kepalanya, suaranya bergema di seluruh halaman kecil itu. "Aku memang idiot untuk terlibat dalam rencana bodohmu."

Jennie melirik dari balik bahunya. Lebih dari beberapa orang melihat mereka, jejak asap mengepul ke udara.

Lisa mengangkat tangannya ke atas. "Lihat? Kamu lebih peduli tentang aku yang membuatmu terlihat buruk daripada apa yang telah kau lakukan. Kau tidak berubah sama sekali. Ya Tuhan! Untuk sesaat, kau benar-benar membuatku percaya pada semua itu. Dalam dirimu. Dalam diri kita. Kau membuatku berpikir bahwa kau peduli padaku. Aku tidak percaya ini."

"Lisa." Jennie menepukkan tangannya di kedua bahu Lisa. "Apa yang sedang terjadi?"

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Hati Jennie tenggelam hingga ke perutnya. Keheningan yang menakutkan yang menyelimuti wajah pacarnya lebih menyayat hati daripada teriakan Lisa padanya.

Akhirnya, Lisa berbicara. "Aku tahu tentang suap itu."

Cengkeraman Jennie goyah. "Suap apa?" dia mendesis.

Crossing The Line (JENLISA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang