[TSDP #7]
Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.
Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haiii.
Nggak kelamaan kan ya updatenyaaa?
Akhirnya kita ketemu lagi sama Si Menye 😭😂
Selamat membaca yaaa. Silakan tandain typo 🐬🫶
***
18 years ago ....
Pagi itu Kalil berjalan sendirian di antara derap langkah cepat siswa-siswi yang memasuki gerbang masuk SMA Adiwangsa. Dia baru saja melepaskan napas kasar, berdiri dengan tas punggung yang talinya disampirkan sebelah di pundak kanan. Keningnya berkali-kali mengernyit melihat penampilan konyol seluruh siswa baru—yang saat itu masih mengenakan pakaian putih-biru.
Kenapa aturan masuk sekolah bagi siswa baru selalu membuat mereka terlihat bodoh?
Seolah-olah ini adalah warisan turun-temurun yang tidak boleh dihilangkan. Seolah-olah sudah menjadi tradisi untuk selalu dilestarikan. Seolah-olah mereka adalah badut yang pantas jadi bahan tertawaan.
Hanya Kalil yang tampak normal di sana. Dia tidak tahu bagaimana aturan MPLS di sekolah itu, karena sebelumnya, dia tidak direncanakan untuk sekolah di Indonesia. Namun, itu adalah konsekuensi yang harus dia terima ketika menolak sekolah pilihan orangtuanya—harus menjadi manusia yang paling tidak tahu apa-apa.
Kalil melihat semua siswa mengenakan papan nama yang terbuat dari potongan kardus, pita warna-warni tertempel di pakaian, sementara bagi siswi pita-pita itu berfungsi untuk pengikat rambut. Lalu, ada kaus kaki berbeda warna, syal biru Adiwangya yang berbentuk segitiga diikat di leher, dan yang paling membuat Kalil merasa keadaan di sana semakin konyol adalah topi-topi kerucut yang mereka kenakan.
Kalil berdiri, masih di koridor sekolah. Melihat suara langkah kaki yang semakin ricuh meninggalkan. Dia masih menatap ke sekeliling dengan gerah. Sampai akhirnya, sebuah suara lantang mengganggunya.
"Heh, kamu!"
Kalil menoleh.
"Iya, kamu!"
Kalil hanya menatap datar seorang kakak kelas laki-laki beralmamater OSIS yang kini menatapnya tajam. Kening Kalil kembali mengernyit saat melihat siswa itu, siswa yang terlihat menggenggam kekuasaan di sekolah itu menghampirinya. "Kamu nggak bawa perlengkapan MPLS kayak yang lain?" tanyanya.
Kalil tidak menjawab, dia hanya melepaskan napas gerah. Tidak bermaksud melakukan perlawanan atau apa pun, tapi sikapnya mampu memancing amarah siswa laki-laki itu rupanya,
"Turunin dagu lo!" Dia melotot. Intonasi suaranya berubah ketus dan kasar. "Anak baru udah songong!" Siswa itu menunjuk ke arah barisan di sisi lapangan, barisan yang sengaja dipisahkan dari ratusan siswa baru lain yang mengular di sana. "Baris lo di sana!"