[TSDP #7]
Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.
Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalau vote sama komennya rame, kita ketemu lagi besok pake double update kayak kemarin mau nggak?
Tapi janji penuhin dulu vote sama komennyaaaa 🔥🔥🔥
Selamat membaca yaaa. Maafin kalau banyak bet typo nya dari kemarin huhu 🙏
***
"Berapa lama lagi?" tanya Gista.
"Dua puluh menit lagi," jawab Kalil.
Keduanya berbaring di sofa ruang kerja Gista dalam keadaan pintu yang terkunci. Mereka bersembunyi dari air hujan yang kembali turun lebih deras. Di sofa bludru putih itu, Kalil sudah menanggalkan jasnya di sofa lain, sepatunya dia buka sehingga hanya tersisa kaus kaki, berbaring dengan satu tungkai kaki yang mengait kaki Gista karena Gista yang belum lepas memeluknya sejak tiga puluh menit yang lalu.
Gista mengeratkan peluk. Seolah-olah tidak ingin batas waktu memisahkannya waktu keduanya. Pipinya dia taruh di dada pria itu, berbaring di sana hingga dia bisa mendengar suara detak jantungnya yang tenang. Atau lebih tepatnya, menenangkan, karena untuk saat ini suara itu hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Kenyataan itu yang membuatnya tenang. Tenang yang singkat, yang dia tahu tiba-tiba bisa berubah menjadi risau.
Tirai tipis, yang melapisi dinding kaca di ruangan itu sesekali melambai, helai itu menutupi apa-apa yang tengah mereka lakukan di balik keramaian dan kesibukan yang terjadi di Rumah Joglo. Orang-orang telah mempersiapkam pesta, sedangkan keduanya tengah tenggelam dalam pesta berdua.
"Mas ...."
"Hm?" Kalil bergerak, mengubah sedikit posisinya. Lalu, dia sematkan sebuah ciuman di puncak kepala Gista sebelum kembali terdiam.
Saat mendongak, Gista mendapati mata Kalil yang masih terpejam.
Karena Gista tidak kunjung bersuara, Kalil kembali bertanya. "Kenapa? Waktu promonya udah mau habis, ya?"
Gista terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Masih dibahas ...."
mengangkat satu tangan untuk melihat arlojinya. Sudah pukul empat sore. "Aku berangkat sekarang, ya?" ujarnya. Lalu mendengkus kecil. "Gini nih kalau berangkat pakai penerbangan komersial. Mesti buru-buru terus."
Saat Gista bergerak, hendak melepaskan peluk, Kalil meraih kembali tubuhnya sampai Gista berbaring lagi di dadanya.
Kalil berkata lagi. "Lima menit lagi mungkin nggak apa-apa, ya?"
Sore itu, setelah lima menit yang diucapkannya, pria itu benar-benar bersiap pergi karena Dipta sudah meneleponnya berkali-kali. Kalil bangun, membawa Gista ke dalam pangkuannya. Membuat Gista memiliki kesempatan untuk merapikan dasinya.